Teori Psikososial tentang Perkembangan
Seperti telah kita kemukakan, perkembangan berlangsung
melalui tahap-tahap — seluruhnya ada delapan tahap menurut jadwal yang
dikemukakan Erikson. Empat tahap yang pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak,
tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga tahap yang terakhir pada
tahun-tahun dewasa dan usia tua. Dalam tulisan-tulisan Erikson, tekanan khusus
diletakkan pada masa adolesen karena masa tersebut merupakan peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini sangat penting
bagi kepribadian dewasa. Identitas, krisis-krisis identitas. dan kekacauan
identitas merupakan konsep-konsep Erikson yang sangat terkenal.
Harus dicatat bahwa tahap-tahap yang berurutan itu tidak
ditetapkan menurut suatu jadwal kronologis yang ketat. Erikson berpendapat
bahwa setiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri, karena itu akan menyesatkan
kalau ditentukan lama berlangsungnya secara eksak masing-masing untuk setiap
tahap. Lagi pula, setiap tahap tidak dilewati dan kemudian ditinggalkan.
Sebaliknya masing-masing tahap ikut serta dalam membentuk seluruh kepribadian.
Meminjam kata-kata Erikson,
“… apa saja
yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini
muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk
mekar, sampai semua bagian bersama- sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang
berfungsi” (1968, him. 92).
Ini dikenal sebagai prinsip epigehetik (epigenetic
principle), suatu istilah yang dipinjam dari ilmu mudigah (embriologi).
Dalam menguraikan kedelapan tahap perkembangan
psikososial, kami menghimpun dan mengutip bahan dari empat sumber. Dalam
Childhood and Society (1950, 1963), dan kemudian dalam Identity: Youth and
Crisis (1968), Erikson membagi tahap- tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego
yang muncul pada masing-masing tahap. Dalam Insight and Responsibility (1964)
ia membicarakan kebajikan-kebajikan atau kekuatan-kekuatan ego yang muncul
selama tahap-tahap yang berturutan. Dalam bukunya yang terbaru, Toys and
Reasons (1976), ia menguraikan ritualisasi yang khas untuk masing-masing tahap.
Ritualisasi yang dimaksudkan Erikson adalah suatu cara serba main-main (play-
ful) namun dipolakan oleh kebudayaan dalam mengerjakan atau mengalami sesuatu
dalam pergaulan sehari-hari antara individu- individu. Maksud utama
ritualisasi-ritualisasi ini ialah menjadi- kan individu yang sedang matang
anggota masyarakat yang efektif dan tidak canggung. Sayang,
ritualisasi-ritualisasi dapat menjadi kaku dan menyeleweng serta berubah
menjadi ritualisme-ritualisme.
I. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap
sensorik-oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan
tenang, menyantap makanan dengan nyaman, dan membuang kotoran dengan santai.
Setiap hari, manakala jam-jam jaganya meningkat, bayi itu menjadi semakin biasa
dengan pengalaman-pengalaman inderawi dan keterbiasaannya ini dibarengi dengan
perasaan senang. Situasi-situasi yang menyenangkan dan orang-orang yang
bertanggungjawab menimbulkan kenyamanan ini menjadi akrab dan dikenal oleh
bayi. Berkat kepercayaan dan keakrabannya dengan orang yang menjalankan fungsi
keibuan ini, maka bayi tersebut mampu menerima bahwa orang tersebut mungkin
tidak ada untuk sementara waktu. Prestasi sosial pertama yang dicapai bayi
tersebut mungkin karena ia mengembangkan suatu kepastian dan kepercayaan dalam
dirinya bahwa orang yang bersifat keibuan itu akan kembali.
Kebiasaan-kebiasaan, konsistensi, dan kontinuitas sehari-hari dalam lingkungan
bayi merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas
psikososial. Melalui kontinuitas pengalaman dengan orang-orang dewasa bayi
belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka; tetapi mungkin yang lebih
penting, ia belajar mempercayai dirinya sendiri. Kepastian semacam itu harus
mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar — yakni, kecurigaan dasar
yang, pada pokoknya adalah esensial bagi perkembangan manusia.
Perbandingan yang tepat antara kepercayaan dasar dan
kecurigaan dasar mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. “Pengharapan merupakan
kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup” (1964, hlm.
115). Fondasi pengharapan terletak pada hubungan-hubungan pertama dengan
orangtua keibuan dan dapat dipercaya yang responsif terhadap
kebutuhan-kebutuhannya, yang memberikan pengalaman-pengalaman sebegitu
memuaskan, seperti ketenangan, makanan, dan kehangatan. Semua verifikasi
pengharapan berasal dari dunia-ibu dan anak. Melalui sejumlah pengalaman yang
terus meningkat di mana pengharapan bayi diverifikasikan, ia memperoleh
inspirasi tentang keberpengharapan baru. Pada saat yang sama, ia mengembangkan
kemampuan untuk membuang pengharapan-pengharapan yang dikecewakan, dan
menemukan pengharapan dalam tujuan-tujuan dan kemungkinan-kemungkinan di masa
mendatang. Dia mempelajari pengharapan-pengharapan macam manakah yang terdapat
dalam batas-batas kemungkinannya dan mengarahkan pengharapan-pengharapannya
selaras dengan batas kemungkinan tersebut. Manakala ia. menjadi dewasa, ia
menyadari bahwa pengharapan-pengharapan yang pernah diberi prioritas tinggi
kini digantikan dengan serangkaian pengharapan yang bertingkat lebih tinggi
atau yang lebih maju. Erikson menyatakan, “Pengharapan adalah keyakinan yang
bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat kuat, terlepas dari
dorongan-dorongan dan kegemaran-kegemaran suram yang menandai permulaan
eksistensi” (1964, hlm. 118).
Tahap pertama kehidupan ini, masa bayi, merupakan tahap
ritualisasi numinous. Yang dimaksudkan Erikson dengan numinous adalah perasaan
bayi akan kehadiran ibu yang bersifat keramat, pandangannya, pegangannya,
sentuhannya, senyumannya, teteknya, caranya memanggil dengan nama, pendek kata
“pengakuannya” atas dirinya. Interaksi-interaksi yang berulangulang ini
bersifat sangat pribadi namun diritualisasikan dalam kebudayaan. Pengakuan ibu
terhadap bayi meneguhkan dan meyakinkan bayi serta hubungan timbal baliknya
dengan ibu. Tiadanya pengakuan dapat menyebabkan keterasingan dalam kepribadian
bayi; sejenis perasaan bahwa is dipisahkan (separation) dan dibuang
(abandonment).
Masing-masing tahap awal ini membentuk suatu ritualisasi
yang dilanjutkan ke masa kanak-kanak dan menambah ritual- ritual masyarakat.
Bentuk ritual numinous yang menyimpang terungkap dalam kehidupan dewasa berupa
pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan atau idolisme.
II. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan
Pada tahap kedua kehidupan (tahap muskular-anal dalam
skema psikoseksual) anak mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya,
apakah kewajiban-kewajiban dan hak-haknya disertai apakah pembatasan-pembatasan
yang dikenakan pada dirinya. Perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman
baru dan yang lebih berorientasi pada kegiatan, menimbulkan sejenis tuntutan
ganda pada anak; tuntutan untuk mengontrol diri sendiri, dan tuntutan untuk
menerima kontrol dari orang-orang lain dalam lingkungan. Untuk mengendalikan
sifat penuh kemauan anak, orang-orang dewasa akan memanfaatkan kecenderungan
universal pada manusia untuk merasa malu; namun mereka akan mendorong anak
untuk mengembangkan perasaan otonomi dan akhirnya mandiri. Orang-orang dewasa
yang melakukan kontrol juga harus benar-benar bersikap membombong. Anak harus
didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi
dalam melakukan pilihan bebas. Penanaman/rasa malu secara
berlebihan hanya akan menyebabkan anak tidak memiliki rasa malu atau memaksanya
mencoba melarikan diri dari hal-hal dengan berdiam diri, tidak suka berterus
terang, dan serta bertindak dengan diam-diam. Inilah tahap saat berkembangnya
kebebasan pengungkapan — diri dan sifat penuh kasih sayang. Rasa mampu
mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik
dan bangga yang bersifat menetap; sebaliknya rasa kehilangan kontrol-diri dapat
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.
Nilai kemauan muncul pada tahap kedua kehidupan ini.
Kemauan-diri yang terlatih dan contoh kemauan luhur yang diperlihatkan oleh
orang-orang lain merupakan dua sumber dari mana nilai kemauan berkembang. Anak
belajar dari dirinya sendiri dan dari orang-orang lain apa yang diharapkan dan
apa yang boleh diharapkan. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu
meneri ma peraturan huk um dan kewajiban. Unsur-unsur kemauan bertambah secara
berangsur-angsur melalui pengalaman-pengalaman yang melibatkan kesadaran dan
perhatian, manipulasi, verbalisasi, dan lokomosi atau gerak. Kemauan adalah
kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih
mengendalikan diri, dan bertindak, yang terus meningkat.
Erikson menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana
(judicious), karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orangorang lain
serta membedakan antara benar dan salah. Ia mengembangkan kemampuan menghayati
suatu rasa benar atau salah pada tindakan-tindakan dan kata-kata tertentu, yang
menyiapkan kemampuan untuk mengalami perasaan bersalah dalam tahap berikutnya.
Anak juga belajar membedakan antara “jenis kami” (our kind) dan orang-orang
lain yang dinilai berbeda; karena itu orang-orang lain yang tidak sama dengan
jenisnya sendiri secara otomatis dinilai salah atau buruk. Ini merupakan dasar
ontogenetik dari keterasingan yang melanda seluruh dunia yang disebut spesies
yang terpecah ( divided species). Dalam tulisan-tulisan lain, Erikson menyebut
ini pseudospesies, yakni sumber prasangka di dalam diri manusia.
Periode ritualisasi sifat bijaksana dalam masa
kanak-kanak ini dalam siklus kehidupan merupakan sumber ritual pengadilan pada
masa dewasa yang tercermin dalam pemeriksaan di ruang pengadilan dan
prosedur-prosedur dengan mana putusan salah atau tak bersalah ditetapkan.
Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan
huruf-huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, pengutamaan hukuman daripada
belas kasih. Orang yang legalistik mendapatkan kepuasan melihat orang yang
di-nyatakan bersalah dihukum dan direndahkan, terlepas apakah hal itu merupakan
tujuan hukum atau bukan.
III. Inisiatif versus Kesalahan
Tahap psikososial ketiga, yang setara dengan tahap
lokomotor-genital dalam psikoseksualitas, ialah tahap inisiatif, suatu masa
untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak
menampilkan diri lebih maju dan lebih “seimbang” secara fisik maupun kejiwaan.
Inisiatif bersama-sama dengan otonomi memberikan kepada anak suatu kualitas
sifat mengejar, merencanakan, serta kebulatan tekad dalam menyelesaikan
tugas-tugas dan meraih tujuan-tujuan. Bahaya dari tahap ini adalah perasaan
bersalah yang dapat menghantui anak karena terlampau bergairah memikirkan
tujuan-tujuan, termasuk fantasi-fantasi genital, menggunakan cara-cara agresif
serta manipulatif untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Anak mulai ingin sekali
belajar, dan mampu belajar dengan baik pada usia ini; ia berjuang untuk tumbuh
dalam arti melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menunjukkan prestasi-prestasi.
Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan
ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari
kegiatan bermainnya, eksplorasi-eksplorasinya, usaha-usaha dan
kegagalan-kegagalannya, serta eksperimentasinya dengan alat-alat permainannya.
Di samping permainan-permainan fisik, ia melakukan juga permainan-permainan
kejiwaan dengan memerankan peranan orangtua dan orang-orang dewasa lain dalam
suatu permainan khayalan. Dengan meniru gambaran-gambaran orang dewasa ini
sedikit banyak anak mengalami bagaimana rasanya menjadi seperti mereka.
Permainan memberikan kepada anak sejenis kenyataan perantara; ia bisa belajar
tentang tujuan benda-benda, hubungan antara dunia dalam dan dunia luar, dan
bagaimana ingatan-ingatan masa lampau bisa diterapkan pada tujuan-tujuan masa
depan. Dengan demikian, permainan yang bersifat khayalan dan bebas sangat penting
bagi perkembangan anak. “Maka, tujuan adalah keberanian untuk merumuskan dan
mengejar tujuan-tujuan yang bernilai yang bebas dari hambatan fantasi-fantasi
kanak-kanak, rasa bersalah dan ketakutan akan hukuman” (1964, hlm. 122).
Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak
secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru
kepribadian-kepribadian orang dewasa, dan berpura-pura menjadi apa saja mulai
dari seekor anjing sampai seorang astronot. Tahap ritualisasi awal ini,
memberikan unsur dramatik dalam ritual-ritual (misalnya drama yang pada
dasarnya merupakan suatu ritual) sepanjang sisa hidup anak. Keterasingan batin
yang dapat timbul pada tahap masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaan
bersalah.
Padanan negatif ritualisasi dramatik adalah ritualisme
impersonasi sepanjang hidup. Seorang dewasa memainkan peranan-peranan atau
melakukan tindakan-tindakan untuk menampilkan suatu gambaran yang tidak
mencerminkan kepribadiannya yang sejati.
IV. Kerajinan versus Inferioritas
Pada tahap keempat dalam proses epigenetik ini (dalam
skema Freud, periode laten) anak harus belajar mengontrol imajinasinya yang
sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Ia mengembangkan suatu sikap
rajin dan mempelajari ganjaran dari ketekunan dan kerajinan. Perhatian pada
alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh
perhatian pada situasi-situasi produktif dan alat-alat serta perkakas-perkakas
yang dipakai untuk bekerja. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa mengembangkan
perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil (atau menjadi merasa demikian)
menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru-guru dan
orangtuanya.
Nilai kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini.
Nilai-nilai dari tahap-tahap sebelumnya (pengharapan, kemauan, dan tujuan)
memberikan kepada anak suatu gambaran tentang tugas-tugas di masa mendatang,
meskipun belum sangat spesifik. Kini anak membutuhkan pengajaran spesifik
tentang metode-metode fundamental agar bisa menyesuaikan diri dengan gaya
kehidupan teknis. la siap dan punya kemauan untuk mempelajari dan memakai
perkakas-perkakas, mesin-mesin, serta metode-metode sebagai persiapan ke arah
pekerjaan orang dewasa. Segera setelah ia mengembangkan kecerdasan dan
kapasitas-kapasitas secukupnya untuk bekerja, penting bahwa ia menerjunkan diri
pada pekerjaan ini untuk mencegah timbulnya perasaan inferioritas dan regresi
ego. Dalam arti ini, pekerjaan meliputi banyak dan beraneka macam bentuk,
seperti pergi ke sekolah, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, memikul
berbagai tanggungjawab, belajar musik, mempelajari aneka pekerjaan tangan, dan
ikut dalam permainan-permainan dan olah raga-olah raga yang membutuhkan
ketrampilan. Yang penting adalah bahwa anak harus menggunakan kecerdasan dan
energinya yang melimpah untuk aktivitas dan tujuan tertentu.
Rasa kompetensi dicapai dengan meneijunkan diri pada
pekerjaan dan penyelesaian tugas-tugas, yang pada akhirnya mengembangkan
kecakapan kerja. Asas-asas kompetensi mempersiapkan anak pada suatu perasaan
cakap bekerja di masa mendatang; tanpa itu anak akan merasa rendah diri. Selama
usia ini, anak ingin sekali mempelajari teknik-teknik produktivitas. “Maka,
kompetensi merupakan penggunaan ketrampilan dan kecerdasan untuk menyelesaikan
tugas-tugas, yang tidak terhambat oleh perasaan rendah diri serba
kekanak-kanakan” (1964, hlm. 124).
Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa
anak belajar bekerja secara metodis. Mengamati dan mempelajari metode-metode
kerja memberikan kepada anak suatu rasa memiliki kualitas berupa ketrampilan
dan kesempurnaan. Apa saja yang dilakukan oleh anak — entah
ketrampilan-ketrampilan di sekolah atau tugas-tugas di rumah — akan
dikerjakannya dengan baik.
Penyimpangan ritualismenya di masa dewasa ialah formalisme,
berwujud pengulangan formalitas-formalitas yang tidak berarti dan ritual-ritual
kosong.
V. Identitas versus Kekacauan Identitas
Selama masa adolesen, individu mulai merasakan suatu
perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik,
namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat,
entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Sang
pribadi mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti
aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa
depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam
kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan
ingin menjadi apakah ia di masa yang akan datang. Inilah masa untuk membuat
rencana-rencana karier.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas
ialah ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego
memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat,
kemampuan-kemampuan, dan ketrampilan-ketrampilan dalam melakukan identifikasi
dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan
lingkungan sosial, serta menjaga pertahanan-pertahanannya terhadap berbagai
ancaman dan kecemasan, karena ia telah mampu memutuskan impuls-impuls,
kebutuhan-kebutuhan, dan perananperanan manakah yang paling cocok dan efektif.
Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta
membentuk identitas psikososial seseorang.
Karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis
di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin
merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat
kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas. Keadaan ini dapat
menyebabkan orang merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Remaja merasa
bahwa ia harus membuat keputusan-keputusan penting tetapi belum sanggup melakukannya.
Para remaja mungkin merasa bahwa masyarakat memaksa mereka untuk membuat
keputusan-keputusan, sehingga mereka justru menjadi semakin menentang. Mereka
sangat peka terhadap cara orang-orang lain memandang mereka, dan menjadi mudah
tersinggung dan merasa malu.
Selama kekacauan identitas, remaja mungkin merasa bahwa
ia mundur bukannya maju, dan, pada kenyataannya suatu kemunduran periodis ke
sifat kanak-kanak kiranya merupakan suatu alternatif menyenangkan terhadap
keterlibatan kompleks dalam masyarakat orang dewasa yang dituntut darinya.
Tingkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan selama masa
kacau ini. Pada suatu saat ia menutup diri terhadap siapa pun karena takut
ditolak, dikecewakan, atau disesatkan. Pada saat berikutnya ia mungkin ingin
menjadi pengikut, pencinta, atau murid, dengan tidak menghiraukan
konsekuensi-konsekuensi dari komitmennya itu.
Istilah krisis identitas menunjuk pada perlunya mengatasi
kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu
identitas yang stabil, atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Masing-masing
tahap yang berturut-turut itu, pada kenyataannya, “merupakan suatu potensi
krisis disebabkan karena terjadinya perubahan yang radikal dalam perspektif’
(1968, hlm. 96). Akan tetapi agaknya secara istimewa krisis identitas adalah
berbahaya karena seluruh masa depan individu generasi berikutnya sepertinya
tergantung pada penyelesaian krisis ini.
Yang juga sangat mengganggu adalah berkembangnya
identitas negatif, yakni perasaan memiliki sekumpulan sifat yang secara
potensial buruk atau tidak berharga. Cara yang sangat lazim dipakai orang untuk
mengatasi identitas negatif ialah memproyeksikan sifat-sifat yang buruk itu
kepada orang-orang lain. “Merekalah yang buruk, bukan saya.” Proyeksi serupa
itu dapat mengakibatkan banyak patologi sosial termasuk prasangka dan
kejahatan, serta diskriminasi terhadap berbagai kelompok orang,
Keterasingan yang disebabkan karena tidak dimilikinya
suatu ideologi yang terintegrasi adalah kekacauan identitas. Penyimpangan
ritualisasi ideologi yang mungkin terjadi adalah totalisme. Totalisme ialah
preokupasi fanatik dan eksklusif dengan apa yang kelihatannya sungguh-sungguh
benar atau ideal.
VI. Keintiman versus Isolasi
Dalam tahap ini, orang-orang dewasa awal (young adults)
siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang-orang lain. Mereka
mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap
mengembangankan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini
meskipun mereka mungkin harus berkorban. Sekarang untuk pertama kalinya dalam
kehidupan mereka, anak-anak muda itu dapat mengembangkan genitalitas
(genitality) seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan mitra
yang dicintai. Kehidupan seks dalam tahap-tahap sebelumnya terbatas pada
menemukan identitas seksual dan berjuang menjalin hubungan-hubungan akrab yang
bersifat sementara. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka
genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak mengadakan
hubungan-hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam
suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada tahap keintiman ini adalah isolasi,
yakni kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau melibatkan diri
dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat sementara memang perlu
membuat pilihan-pilihan, tetapi, tentu saja, juga dapat menimbulkan
masalah-masalah kepribadian berat.
Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan keintiman.
Nilai dominan yang bersifat universal ini, yakni cinta, muncul dalam banyak
bentuk selama tahap-tahap sebelumnya, mulai dengan cinta bayi terhadap ibunya,
kemudian cinta birahi pada remaja, dan akhirnya cinta yang diungkapkan dalam
bentuk kepedulian terhadap orang-orang lain pada orang dewasa. Meskipun cinta
sudah nampak dalam tahap-tahap sebelumnya, namun perkembangan keintiman yang
sejati hanya muncul setelah menginjak usia remaja. Orang-orang dewasa awal kini
mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama di mana mereka saling berbagi hidup
dengan seorang mitra yang intim. Erikson menulis, “Maka, cinta adalah
pengabdian timbal balik yang mengalahkan antagonisme-antagonisme yang melekat
dalam fungsi yang terpecah” (1964, hlm. 129). Meskipun identitas individual
seseorang dipertahankan dalam suatu hubungan keintiman bersama, namun kekuatan
egonya tergantung pada kesiapan mitranya untuk berbagi peran dalam membesarkan
anak-anak, berbagi produktivitas, dan berbagi pandangan tentang hubungan
mereka.
Ritualisasi pada tahap ini ialah afiliatif, yakni berbagi
bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Ritualismenya, yakni
elitisme, terungkapkan lewat dengan pembentukan kelompok-kelompok eksklusif
yang merupakan suatu bentuk narsisisme komunal.
VII. Generativitas versus Stagnasi
Ciri tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa
yang dihasilkan — keturunan, produk-produk, ide-ide, dan sebagainya — serta
pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi-generasi
mendatang. Transmisi nilai-nilai sosial ini diperlukan untuk memperkaya aspek
psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Apabila generativitas lemah
atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur, dan mengalami pemiskinan
serta stagnasi.
Nilai pemeliharaan (care) berkembang dalam tahap ini.
Pemeliharaan terungkap dalam kepedulian seseorang pada orang-orang lain, dalam
keinginan memberikan perhatian pada mereka yang membutuhkannya serta berbagi
dan membagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka. Ini tercapai lewat
kegiatan membesarkan anak dan mengajar, memberi contoh, dan mengawasi. Manusia
sebagai suatu spesies memiliki kebutuhan inheren untuk mengajar, suatu
kebutuhan yang dimiliki oleh semua orang dalam setiap bidang pekerjaan. Manusia
mencapai kepuasan dan pemenuhan dengan mengajar anak-anak, orang-orang dewasa,
bawahan-bawahan, bahkan binatang-binatang. Fakta-fakta, logika, dan
kebenaran-kebenaran terpelihara dari generasi ke generasi berkat semangat
mengajar ini. Aktivitas memelihara dan mengajar menjamin kelangsungan hidup
kebudayaan, lewat pengulangan atas adat-istiadat, ritual-ritual, dan
legenda-legendanya. Kemajuan setiap kebudayaan ada di tangan orang-orang yang
memiliki cukup kerelaan untuk mengajar dan menjalani kehidupan yang patut
dicontoh. Aktivitas mengajar juga menumbuhkan dalam diri manusia suatu perasaan
vital bahwa mereka dibutuhkan oleh orang-orang lain, suatu perasaan bahwa diri
mereka berarti, yang membuat mereka tidak terlalu asyik dan terbenam dalam diri
mereka sendiri. Selama masa kehidupan seseorang banyak pengalaman dan
pengetahuan berhasil dikumpulkan, seperti pendidikan, cinta, pekerjaan,
filsafat, dan gaya hidup. Semua aspek kehidupan ini harus dipelihara dan
dilindungi, sebab semua itu merupakan pengalaman-pengalaman yang berharga.
Pengalaman-pengalaman ini dipelihara dengan cara diteruskan dan diberikan
kepada orang-orang lain.
“Pemeliharaan
adalah kepedulian yang semakin luas terhadap apa yang telah dihasilkan oleh
cinta, karena dipandang perlu, atau semata-mata karena kebetulan; pemeliharaan
mengatasi ambivalensi yang melekat pada rasa berkewajiban yang tak dapat
diubah” (1964, hlm. 131).
Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang
generasional, yakni ritualisasi peranan orangtua, produksi, pengajaran,
penyembuhan, dan seterusnya, peranan-peranan dengan mana orang dewasa bertindak
sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda. Penyimpangan-penyimpangan
dari ritualisasi generasional tercermin dalam ritualisme autoritisme.
Autoritisme adalah pencaplokan atau perongrongan kekuasaan yang bertentangan
dengan pemeliharaan.
VIII. Integritas versus Keputusasaan
Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan
disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan
yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda dan orang-orang,
produk-produk dan ide-ide, dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan
keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalan dalam hidup. Lewat
prestasi-prestasi semacam itu individu-individu dapat menikmati
keuntungan-keuntungan dari ketujuh tahap kehidupan yang pertama, dan merasa
bahwa kehidupan mereka memiliki sejenis susunan dan makna dalam suatu susunan
yang lebih besar. Meskipun orang yang telah mencapai suatu keadaan integritas
menyadari berbagai gaya hidup orang-orang lain, namun dengan bangga ia
memelihara gaya hidupnya sendiri dan mempertahankannya dari berbagai potensi
ancaman. Dengan demikian gaya hidup dan integritas kebudayaan menjadi “warisan
jiwa” .
Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi
perubahan-perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi-kondisi sosial
dan historis, belum lagi kefanaan hidup di hadapan kematian. Ini dapat
memperburuk perasaan bahwa kehidupan ini tak berarti, bahwa ajal sudah dekat —
ketakutan akan — dan bahkan keinginan untuk — mati. Sekarang waktunya sudah
terlalu singkat untuk berbalik dan mencoba gaya hidup yang lain.
Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil
pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang
terakhir ini. Kegiatan fisik dan mental dalam kehidupan sehari-hari menjadi
lamban pada tahap terakhir dalam siklus kehidupan ini. Kebijaksanaan yang
sederhana menjaga dan memberikan integritas pad pengalaman-pengalaman yang
terkumpul dari tahun-tahun yang silam. “Maka, kebijaksanaan merupakan
keprihatinan objektif terhadap kehidupan itu sendiri, di hadapan kematian itu
sendiri” (1964, hlm. 133).
Bahwa orang yang sudah uzur kurang mampu beradaptasi
dengan situasi-situasi yang berubah tidak menghalangi sejenis kejenakaan dan
keingintahuan tertentu yang memungkinkan pembulatan pengalaman, sebagaimana
diperoleh dari pengetahuan dan penilaian selama bertahun-tahun. Mereka yang
berada pada tahap kebijaksanaan dapat menyajikan kepada generasi-generasi yang
lebih muda suatu gaya hidup yang bercirikan suatu perasaan tentang keutuhan dan
keparipurnaan. Perasaan tentang keutuhan ini dapat meniadakan perasaan putus
asa dan muak, serta perasaan selesai atau habis manakala situasi-situasi
kehidupan kini berlalu. Perasaan tentangkeutuhan juga akan mengurangi perasaan
tak berdaya dan ketergantungan yang biasa menandai akhir kehidupan.
Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral; ini
tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman. Sebagai ritualisme yang padanannya,
Erikson mengusulkan sapientisme: “Kedunguan dengan berpura-pura bijaksana”.
Pustaka
Psikologi Kepribadian 1 TEORI-TEORI PSIKODINAMIK (KLINIS)
Oleh Calvin S. Hall & Gardner Lindzey
0 komentar:
Posting Komentar