Selasa, 27 Maret 2012

Selintas tentang Sastra Indonesia



Selintas tentang Sastra Indonesia



Sastra modern Indonesia adalah suatu bentuk sastra yang baru. Suatu bentuk sastra yang sebelumnya tidak dikenal di dalam tradisi sastra Nusantara. Ia juga merupakan produk dari suatu masyarakat yang baru, yang kemudian bernama masyarakat Indonesia. Tonggak-tonggak sejarah yang penting di dalam perkembangan sastra (modern) Indonesia ditandai oleh besarnya pengaruh bentuk-bentuk sastra Barat. Puisi-puisi M. Yamin, Roestam Effendi, dan Sanoesi Pane yang berbentuk soneta (yang merupakan awal dari puisi-puisi modern Indonesia) berasal dari bentuk-bentuk puisi hall yang masuk melalui sastra Belanda. Puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru mendapat pengaruh yang amat besar dari Angkatan 80-an Negeri Belanda. Dan, bukankah puisi-puisi Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45 kita, secara kentara sekali mendapat pengaruh dari pengarang-pengarang Marsman dan Slauerhoff, juga dari Negeri Belanda.

Masyarakat Indonesia, pada awal-awal perkembangannya, memang menunjukkan gejala membarat itu. Tidak ayal hal itu juga terlihat dengan jelas di dalam kehidupan sastranya. Mulai dari struktur dan jenis karya-karya yang ditulis, sampai kepada permasalahan yang diungkapkan sebagai tema di dalam karya-karya tersebut.

Dalam fungsinya, pada awal-awal pertumbuhan Sastra Indonesia lebih cenderung sebagai sastra yang mengemban misi tertentu, yakni misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sastrawan lebih merasa sebagai seorang guru dibandingkan dengan sebagai seorang seniman. Sastra dijadikan sebagai media untuk menyampaikan ide-ide, pikiran-pikiran, dan pandangan-pandangan sehubungan misi yang diemban: mendidik rakyat.

Misi “mendidik rakyat” dan menjadikan sastra sebagai “media penyampaian ide-ide” seperti itu mewarnai karya-karya sastra dari Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an) dan Angkatan Pujangga Baru. Tujuan yang demikian tidak saja mempengaruhi tema-tema yang dipilih, yakni yang berhubungan dengan masalah-masalah feodalisme (di dalam Angkatan Balai Pustaka) dan idealisme yang diungkapkan secara romantis (di dalam Angkatan Pujangga Baru), tetapi juga akan berpengaruh terhadap unsur-unsur struktur karya sastra yang lain seperti, plot, latar (setting), penokohan (karakterisasi), dan gaya bahasa (style).

Plot sederhana tapi cenderung bertele-tele, tokoh-tokohnya adalah tokoh-tokoh stereotype hitam-putih; setting, jelas dunianya dan dikesankan seolah-olah true-story; gaya bahasa cenderung hiperbola dan dengan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang tetap (dan kemuthan menjadi klise).

Angkatan 45 lahir dengan latar belakang sejarah yang lain. Tidak hanya latar belakang perlawanan terhadap penjajahan, tetapi lebih-lebih oleh latar belakang yang lebih luas: Perang Dunia (I dan II), terbukanya pintu gerbang dunia dan kemajuan teknologi komunikasi, datangnya Jepang sebagai “saudara tua” dan kemudian menjajah tak kurang kejamnya, revolusi fisik, dan lain-lain. Semuanya itu “mengajarkan” dua hal: pertama, alangkah kecilnya dunia, dan kedua, betapa rapuhnya nasib manusia. Apa yang terjadi di tempat lain dengan mudah pengaruhnya dirasakan juga di Tanah Air dan karenanya juga manusia merasa senasib, tumbuhnya solidaritas kemanusiaan yang hampir-hampir melupakan batas-batas geopolitik kenegaraan.

Latar-belakang sejarah yang demikian membuat karya-karya satra dari Angkatan 45 menjadi humanis. Ia tidak hanya terbenam di dalam kemerduan bunyi dan keindahan kata dan cita, tapi terutama mengedepankan kedalaman makna.

Sesudah hiruk-pikuk dunia dan gejolak perjuangan kemerdekaan reda, tiba masanya untuk melakukan introspeksi dan berpikir lebih jernih. Di dalam kebudayaan, misalnya, jendela dunia yang terbuka lebar dan yang menyebabkan Angkatan 45 berteriak “kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”, dalam praktiknya ternyata tidaklah sesederhana itu. Ternyata mereka (atau kita) tetap saja menjadi warga dari suatu masyarakat yang lebih kecil. Mereka (dan kita) tidak atau belum bisa sepenuhnya membebaskan diri dari masyarakat dan tata nilai sebelumnya. Para budayawan dan para seniman ternyata masih tetap saja menoleh kepada nilai-nilai dari kebudayaan tradisional dengan tentu saja memberi isi dan semangat yang baru. Pengaruh kebudayaan Barat memang menjadi tidak terelakkan. Namun, nilai-nilai dan unsur-unsur dari kebudayaan subkultur (etnis) tertentu tetap saja mewarnai kehidupan kebudayaan Indonesia sebagai suatu bentuk kebudayaan yang baru. Bahkan kecenderungan selama dasawarsa terakhir memperlihatkan bahwa hal itu juga dilakukan dengan radar.

Di dalam kehidupan kesusastraan Indonesia sesudah tahun 50-an, misalnya, muncul sastrawan-sastrawan yang mencoba kembali memasukkan unsur-unsur dan nilai-nlai sastra-tradisional ke dalam karyakarya mereka, seperti yang dilakukan Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardojo, Hartoyo Andangdjaja, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, dan pada yang lebih kemudian: Putu Wijaya, Wisran Hadi, Akhudiat, Danarto, Y.B. Mangunwijaya, Husni Djamaluddin, Linus Suryadi A.G., Hamid Jabbar, Rusli Marzuki Saria, Abrar Yusra, Darman Moenir, Ibrahim Sattah, dan yang paling menonjol Sutarji Calzoum Bachri.

Perkembangan kesusastraan yang demikian tentunya juga akan berpengaruh terhadap perkembangan kritik sastra. Atau, kritik semestinya juga harus tanggap terhadap perkembangan tersebut. Dengan demikian, kritik sastra bisa lebih berperan di dalam perkembangan kesusastraan. Dengan pemahaman terhadap perkembangan tersebut, kritik sastra tidak saja mampu memberikan penghargaan dan pemikiran, tetapi juga bisa menjelaskan karya-karya tersebut kepada masyarakatnya. Ia bisa menjelaskan konvensi-konvensi dan penolakan terhadap konvensi-konvensi di dalam sebuah dan sejumlah karya sastra.

Pustaka Artikel Selintas tentang Sastra Indonesia
Telaah bahasa & sastra Oleh Hasan Alwi,Anton M. Moeliono


  • Ramalan Hari Ini
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Share

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More