Selintas tentang Sastra Indonesia
Sastra modern Indonesia adalah suatu bentuk sastra yang
baru. Suatu bentuk sastra yang sebelumnya tidak dikenal di dalam tradisi sastra
Nusantara. Ia juga merupakan produk dari suatu masyarakat yang baru, yang
kemudian bernama masyarakat Indonesia. Tonggak-tonggak sejarah yang penting di
dalam perkembangan sastra (modern) Indonesia ditandai oleh besarnya pengaruh
bentuk-bentuk sastra Barat. Puisi-puisi M. Yamin, Roestam Effendi, dan Sanoesi
Pane yang berbentuk soneta (yang merupakan awal dari puisi-puisi modern
Indonesia) berasal dari bentuk-bentuk puisi hall yang masuk melalui sastra
Belanda. Puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru mendapat pengaruh yang amat besar
dari Angkatan 80-an Negeri Belanda. Dan, bukankah puisi-puisi Chairil Anwar,
pelopor Angkatan 45 kita, secara kentara sekali mendapat pengaruh dari
pengarang-pengarang Marsman dan Slauerhoff, juga dari Negeri Belanda.
Masyarakat Indonesia, pada awal-awal perkembangannya,
memang menunjukkan gejala membarat itu. Tidak ayal hal itu juga terlihat dengan
jelas di dalam kehidupan sastranya. Mulai dari struktur dan jenis karya-karya
yang ditulis, sampai kepada permasalahan yang diungkapkan sebagai tema di dalam
karya-karya tersebut.
Dalam fungsinya, pada awal-awal pertumbuhan Sastra
Indonesia lebih cenderung sebagai sastra yang mengemban misi tertentu, yakni
misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sastrawan lebih merasa sebagai seorang guru
dibandingkan dengan sebagai seorang seniman. Sastra dijadikan sebagai media
untuk menyampaikan ide-ide, pikiran-pikiran, dan pandangan-pandangan sehubungan
misi yang diemban: mendidik rakyat.
Misi “mendidik rakyat” dan menjadikan sastra sebagai
“media penyampaian ide-ide” seperti itu mewarnai karya-karya sastra dari
Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an) dan Angkatan Pujangga Baru. Tujuan yang
demikian tidak saja mempengaruhi tema-tema yang dipilih, yakni yang berhubungan
dengan masalah-masalah feodalisme (di dalam Angkatan Balai Pustaka) dan
idealisme yang diungkapkan secara romantis (di dalam Angkatan Pujangga Baru),
tetapi juga akan berpengaruh terhadap unsur-unsur struktur karya sastra yang
lain seperti, plot, latar (setting), penokohan (karakterisasi), dan gaya bahasa
(style).
Plot sederhana tapi cenderung bertele-tele,
tokoh-tokohnya adalah tokoh-tokoh stereotype hitam-putih; setting, jelas
dunianya dan dikesankan seolah-olah true-story; gaya bahasa cenderung hiperbola
dan dengan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang tetap (dan kemuthan menjadi
klise).
Angkatan 45 lahir dengan latar belakang sejarah yang
lain. Tidak hanya latar belakang perlawanan terhadap penjajahan, tetapi
lebih-lebih oleh latar belakang yang lebih luas: Perang Dunia (I dan II),
terbukanya pintu gerbang dunia dan kemajuan teknologi komunikasi, datangnya
Jepang sebagai “saudara tua” dan kemudian menjajah tak kurang kejamnya,
revolusi fisik, dan lain-lain. Semuanya itu “mengajarkan” dua hal: pertama,
alangkah kecilnya dunia, dan kedua, betapa rapuhnya nasib manusia. Apa yang
terjadi di tempat lain dengan mudah pengaruhnya dirasakan juga di Tanah Air dan
karenanya juga manusia merasa senasib, tumbuhnya solidaritas kemanusiaan yang
hampir-hampir melupakan batas-batas geopolitik kenegaraan.
Latar-belakang sejarah yang demikian membuat karya-karya
satra dari Angkatan 45 menjadi humanis. Ia tidak hanya terbenam di dalam
kemerduan bunyi dan keindahan kata dan cita, tapi terutama mengedepankan
kedalaman makna.
Sesudah hiruk-pikuk dunia dan gejolak perjuangan
kemerdekaan reda, tiba masanya untuk melakukan introspeksi dan berpikir lebih
jernih. Di dalam kebudayaan, misalnya, jendela dunia yang terbuka lebar dan
yang menyebabkan Angkatan 45 berteriak “kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia”, dalam praktiknya ternyata tidaklah sesederhana itu. Ternyata
mereka (atau kita) tetap saja menjadi warga dari suatu masyarakat yang lebih
kecil. Mereka (dan kita) tidak atau belum bisa sepenuhnya membebaskan diri dari
masyarakat dan tata nilai sebelumnya. Para budayawan dan para seniman ternyata
masih tetap saja menoleh kepada nilai-nilai dari kebudayaan tradisional dengan
tentu saja memberi isi dan semangat yang baru. Pengaruh kebudayaan Barat memang
menjadi tidak terelakkan. Namun, nilai-nilai dan unsur-unsur dari kebudayaan
subkultur (etnis) tertentu tetap saja mewarnai kehidupan kebudayaan Indonesia
sebagai suatu bentuk kebudayaan yang baru. Bahkan kecenderungan selama
dasawarsa terakhir memperlihatkan bahwa hal itu juga dilakukan dengan radar.
Di dalam kehidupan kesusastraan Indonesia sesudah tahun
50-an, misalnya, muncul sastrawan-sastrawan yang mencoba kembali memasukkan
unsur-unsur dan nilai-nlai sastra-tradisional ke dalam karyakarya mereka,
seperti yang dilakukan Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardojo,
Hartoyo Andangdjaja, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, dan
pada yang lebih kemudian: Putu Wijaya, Wisran Hadi, Akhudiat, Danarto, Y.B.
Mangunwijaya, Husni Djamaluddin, Linus Suryadi A.G., Hamid Jabbar, Rusli
Marzuki Saria, Abrar Yusra, Darman Moenir, Ibrahim Sattah, dan yang paling
menonjol Sutarji Calzoum Bachri.
Perkembangan kesusastraan yang demikian tentunya juga
akan berpengaruh terhadap perkembangan kritik sastra. Atau, kritik semestinya
juga harus tanggap terhadap perkembangan tersebut. Dengan demikian, kritik
sastra bisa lebih berperan di dalam perkembangan kesusastraan. Dengan pemahaman
terhadap perkembangan tersebut, kritik sastra tidak saja mampu memberikan
penghargaan dan pemikiran, tetapi juga bisa menjelaskan karya-karya tersebut
kepada masyarakatnya. Ia bisa menjelaskan konvensi-konvensi dan penolakan
terhadap konvensi-konvensi di dalam sebuah dan sejumlah karya sastra.
Pustaka Artikel Selintas tentang Sastra Indonesia
Telaah bahasa & sastra Oleh Hasan Alwi,Anton M. Moeliono
0 komentar:
Posting Komentar