Henti
Jantung
A. Gambaran
Umum.
1. Henti
jantung adalah keadaan klinis di mana curah jantung secara efektif adalah nol.
Meskipun biasanya berhubungan dengan fibrilasi ventrikel, asistole atau
disosiasi elektromagnetik (DEM), dapat juga disebabkan oleh disritmia yang lain
yang kadang-kadang menghasilkan curah jantung yang sama sekali tidak efektif.
Ini meliputi bradikardi yang hebat dan takikardi ventrikuler.
2. Untuk
sebagian besar henti jantung, rencana evaluasi dan pengobatan harus mengikuti
prinsip-prinsip dan detail-detail yang dipaparkan pada bagian ini. Namun, pada
kasus-kasus yang khusus, obat-obatan atau prosedur operasi spesifik merupakan
penyelamat hidup, jika diberikan atau dilaksanakan dengan segera. Ini berarti
bahwa setiap kasus henti jantung harus dievaluasi terhadap penyebab-penyebab
yang relatifjarang tetapi secara terapeutik dapat dipertanggungjawabkan. Ini
meliputi hal-hal di bawah ini:
a. Overdosis
dan opiat atau propoksifen (Darvon) perlu diberikan nalokson 0,8 mg secara IV.
b. Overdosis
dan antidepresan trisiklik memberikan gambaran sebagai takidisritmia yang non
perfusi, perlu diberikan fisostigmin 2 mg secara IV.
c. Emboli
paru yang masif perlu diberikan heparin 5000 unit secara IV, segera dan
pertimbangkan selanjutnya untuk embolektomi.
d. Tamponade
perikard perlu dilakukan perikardiotomi terbuka atau dengan jarum.
e.
Pneumothorax tension perlu segera dilakukan dekompresi dengan jarum dan insersi
tabung pada dada.
f.
Hipotermia perlu diberikan penghangatan kembali.
3. Setiap
tim resusitasi henti jantung harus mempunyai satu orang yang berperan sebagai
pimpinan. Agar pasien mendapat penanganan sebaik-baiknya, klinikus ini harus
memberikan semua medikasi dan prosedur, dan menerima semua informasi
laboratorium untuk mengambil keputusan klinis.
4. Setiap
resusitasi henti jantung merupakan suatu rangkaian kejadian yang kompleks,
banyak tindakan yang harus dilakukan secara simultan. Secara keseluruhan setiap
aspek harus diteliti dengan cermat untuk meyakini bahwa resusitasi sedan
dilaksanakan dengan se-. efektif mungkin. Khusus untuk hal-hal di bawah ini
harus dilakukan:
a. Evaluasi
yang sering terhadap membran mukosa dan ekstremitas, auskultasi paru, dan
kadang-kadang rontgen dada apabila ada indikasi, untuk mengecek ventilasi dan
oksigenasi.
b.
Perhatikan teknik kompresi jantung dan adanya denyutan femoral yang teraba yang
ditransmisikan oleh kompresi jantung tersebut.
c.
Pengukuran gas darah arteri untuk mengidentifikasi adanya hi-poksemia,
hiperkarbia, asidosis atau alkalosis.
d. Ulangi
evaluasi terhadap riwayat klinis dan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi
penyebab dasarnya sehingga dapat dilakukan terapi spesifik.
5. Pada
sebagian besar keadaan tindakan kompresi jantung tertutup adalah efektif.
Kadang-kadang berhubung dengan penyebab spesifik atau apabila teknik resusitasi
kardiopulmonar sudah adekuat tetapi tidak ada denyutan femoral atau karotis
yang teraba, torakotomi darurat dan masase internal jantung harus
dipertimbangkan. Situasi ini biasanya paling sering timbul pada kasus-kasus di
bawah ini:
a. Henti
jantung traumatik sekunder akibat dari:
(1) Luka
tembus jantung.
(2)
Tamponade jantung yang tidak responsif terhadap tindakan perikardiosentesis.
(3) Trauma
hebat yang masif pada daerah toraks.
(4) Trauma
tumpul pada dada dengan kecurigaan adanya ruptur dari atrium, ventrikel atau
aorta.
b.
Hipotermia hebat dengan fibrilasi ventrikel. (denyutan dapat dirasakan dengan
RJP) dan tidak ada by pass kardiopulmonar, yakni diperlukan adanya penghangatan
kembali secara langsung terhadap jantung.
c.
Perdarahan masif yang tidak responsif terhadap terapi pengganti cairan dan
darah, yakni jepitan silang terhadap aorta desendens.
d.
Bentuk-bentuk abnormal yang menghalangi efektifitas tindakan masase dada
eksternal:
(1) Pasien
emfisematous dengan dada berbentuk tabung (barrel chest).
(2) Pektus
karinatum yang hebat.
(3)
Kifoskoliosis yang hebat.
e. Syok
elektrik dengan fibrilasi ventrikel yang refrakter. Denyutan sering didapat
dengan RJP.
6. Keputusan
untuk menghentikan tindakan resusitasi henti jantung terletak pada ketua tim
penolong dan dokter yang merawat si pasien (jika dokter yang merawat ada).
Meskipun setiap keputusan adalah individual, di dalam literatur kedokteran
terdapat banyak sekali bukti-bukti yang menyatakan bahwa pada keadaan-keadaan
di bawah ini terdapat indikasi kuat untuk menghentikan resusitasi, dikarenakan
probabilitas yang sangat kecil untuk berhasilnya tindakan tersebut.
a. Indikasi.
(1) Tidak
terabanya denyut nadi dan apnea selama lebih dari 10 menit sebelum dimulainya
tindakan RJP.
(2) Tidak
terdapat respons klinis sesudah lebih dari 30 menit “advanced cardiac life
support” (ACLS), termasuk di sini yang dilakukan di luar rumah sakit.
(3) Tidak
terdapat aktivitas ventrikel pada EKG, yakni asistole yang persisten sesudah
lebih dari 10 menit tindakan ACLS.
(4)
Sebelumnya terdapat penyakit dengan stadium terminal seperti kanker stadium
terminal dan penyakit jantung stadium terminal.
b.
Pengecualian.—Keadaan hampir tenggelam, hipotermia dengan berbagai sebab dan trauma
dengan perdarahan, terutama pada orang- orang muda. Pada keadaan-keadaan
demikian, tindakan resusitasi harus dilakukan secara agresif dan terapi
spesifik seperti disebutkan sebelumnya harus dimulai secepatnya.
B. Evaluasi
dan pengobatan.
1. Konfirmasikan
keadaan yang tidak responsif. Pada keadaan trauma, kurangi seminim mungkin
risiko cedera vertebra servikal. Mintalah bantuan!
2.
Pertahankan jalan napas dengan memakai manuver kepala tengadah –dagu diangkat,
karena korban dengan henti jantung mungkin terjatuh dan menderita cedera leher.
Apabila teknik kepala tengadahdagu diangkat tidak berhasil, gunakan tehnik
mendorong dagu atau manuver kepala tengadah –leher diangkat untuk
mempertahankan jalan napas yang adekuat (Gambar 3-1 sampai 3-4). Periksalah mulut
dengan cepat, bersihkan setiap makanan yang ada, muntahan atau gigi palsu.
3. Usahakan
pemberian 2 kali pernapasan buatan secara cepat dan pastikan bahwa dadanya
bergerak dengan tepat; jika tidak terjadi gerakan, lakukan manuver untuk
menghilangkan obstruksi jalan napas.
a. Sekali
lagi, periksa mulut pasien untuk melihat adanya benda asing dan gigi palsu yang
longgar dengan cara menyapu menggunakan jari tangan.
b.
Pemeriksaan secara langsung daerah faring dan laring dapat menemukan adanya
benda asing yang dapat di rai h dengan forsep McGill.
c. Berikan 4
dorongan pada abdomen dengan berlutut di samping paha korban atau duduk
mengangkanginya dan lakukan dorongan yang terpusat pada daerah epigastrium
untuk wanita yang gemuk atau korban yang hamil, berikan 4 dorongan pada dada
dengan meletakkan satu telapak tangan pada masing-masing sisi dari bagian bawah
dada anterior dan lakukan dorongan ke posterior. Periksa mulut dan usaha
ventilasi sebagai bukti adanya perbaikan obstruksi jalan napas. Ulangi beberapa
kali sebanyak yang dibutuhkan. Jika tidak ada perbaikan ulangi seperti di atas
sampai obstruksinya dapat diatasi.
d. Apabila
tidak berhasil lakukan di bawah ini: Balikkan si korban ke arah anda dan
berikan 4 backslaps di antara kedua bahu.
Periksalah
mulut dengan cara menyapu menggunakan jari dan usahakan ventilasi.
e. Terakhir
kali, kalau semua usaha gagal krikotirotomi harus dilaksanakan. Prosedur ini
jauh lebih efektif dan aman dibandingkan dengan trakeostomi pada keadaan ini.
Trakeostomi dapat dilakukan sesudahnya sebagai tindakan elektif, apabila
diperlukan lobang trakea yang lebih permanen. .
f. Mulai RJP
dan saat anggota tim tiba, delegasikan tanggung jawab untuk penatalaksanaan
jalan napas, intepretasi EKG dan pemberian obat-obatan.
g.
Pertahankan kontrol jalan napas sbb:
(1) Teruskan
pernapasan mulut ke mulut atau mulut ke masker ventilasi sampai tersedianya
kantong masker yang baik.
(2) Intubasi
trakea tidak diperlukan dengan segera, karena pada sebagian besar keadaan,
kantong masker ventilasi yang ber
katup sudah
adekuat untuk memperbaiki oksigenasi. Intubasi trakea dapat dilakukan hanya
apabila terdapat orang yang ahli mengenainya. Setiap usaha harus dibatasi
sampai 30 detik, dan usaha yang gagal harus dilanjutkan segera dengan kantong
ventilasi masker berkatup untuk mengurangi hipoksia. Panjang tabung harus
diperhatikan untuk menghindari intubasi bronkus utama kanan. Tabung endotrakeal
harus diimobilisasi dengan aman memakai plester perekat.
(3) Pada
pasien-pasien dengan trauma, penanganan harus sebaik mungkin untuk mengurangi
risiko terjadinya trauma pada vertebra servikalis, pada waktu intubasi
dilakukan. Traksi servikal in line dibutuhkan.
h. Pasanglah
infus, bersamaan itu lakukan intepretasi EKG, sebab defibrilasi yang cepat
merupakan tindakan yang menyelamatkan jiwa (Iihat selanjutnya). Infus dengan
mempergunakan jarum yang besar harus dipasang seawal mungkin dan jika
memungkinkan alat pemantau tekanan harus dimasukkan sampai ke sirkulasi
sentral. Vena-vena ekstremitas termasuk vena femoralis harus dicoba. Vena
subklavia dan vena jugularis eksterna
atau interim
harus dicoba untuk dimasukkan dengan alat pemantau tekanan sesudah jalan napas
aman atau jika sirkulasi belum terkoreksi sesudah pemberian obat-obatan melalui
vena perifer. Pada stadium ini suatu alat pemantau tekanan melalui salah satu
rute-rute ini dapat memberikan informasi yang berguna untuk tetapi selanjutnya.
Injeksi intrakranial harus dihindari, karena risiko terjadinya laserasi A.
Coronaria dan kecenderungan terjadinya disritmia yang sulit diatasi sebagai
akibat dari tindakan yang kurang hati-hati menyuntikkan obat secara Iangsung ke
dalam miokardium. Instalasi obat-obatan ke dalam trakea melalui tabung
endotrakeal merupakan alternatif yang efektif, apabi la keadaan tidak
memungkinkan untuk memasang rute intravena secara cepat. Obat-obatan harus
dengan volume antara 5-10 ml dan dosis awal dari epinefrin, lidokain, dan
atropin adalah mirip dengan dosis yang diberikan secara IV, tetapi dosis
selanjutnya harus ditakar lebih rendah. Obat-obatan ini harus disuntikkan ke dalam
tabung endotrakeal dengan mempergunakan kateter CVP atau jarum panjang, diikuti
dengan pemberian besar-besaran. Akhir-akhir ini tidak ada bukti tentang
kemanjuran dari obat henti jantung yang lain yang diberikan melalui rute
endotrakeal. Area sublingual, jaringan yang sangat vaskular, harus
dipertimbangkan sebagai tempat pemberian obat-obatan ini. Dosis IV harus
digunakan. Pemberian Natrium bikarbonat harus dipertimbangkan hanya sesudah
terapi obat spesifik pada permulaan telah diberikan tanpa perbaikan dari
sirkulasi. Dosis permulaan adalah 1 mg/kg. Dosis selanjutnya didasarkan atas
hasil analisa gas darah arterial. Apabila hasil analisa ini tidak dapat
diperoleh, natrium bikarbonat dapat diberikan setiap 10-15 menit dengan dosis
setengah dari dosis awal.
i. Tentukan
irama EKG dengan menggunakan penilai cepat pada alat defibrilator jika tersedia
atau pengamat EKG standar. Pengobatan tergantung irama dari jantung.
(1)
Fibrilasi ventrikel (FV).
a. Berikan
energi sebanyak 200 joule dengan segera. Jika tidak berhasil, berikan kejutan
kedua sebanyak 200-300 J dengan segera, dan jika perlu berikan ketiga kalinya
sampai 360 J. Berikan 0,5-1 mg epinefrin secara IV jika tindakan defibrilasi
tidak berhasil. Pada henti jantung yang tidak terawasi pertimbangkan dahulu
natrium bikarbonat. Sesudah pemberian epinefrin dan bikarbonat ulangi tindakan
defibrilasi. Pemberian natrium bikarbonat tambahan harus didasarkan atas hasil
analisa gas darah arterial. Pada kasus henti jantung di luar Rumah sakit,
berikan setengah dari dosis awal setiap 10-15 menit. Epinefrin dapat diulang
setiap 5 menit atau dapat lebih sering.
b. Jika
fibrilasi ventrikel dapat diatasi, lakukan reevaluasi pasien secara hati-hati
untuk mencari hipoksia yang belum diketahui yang berhubungan dengan pneumotoraks,
peletakkan tabung endotrakeal yang tidak benar atau hipovolemi, dan lakukan
koreksi ketidakseimbangan asam basa. Jika tidak berhasil, cobalah obat-obatan
ini dan lakukan tindakan defibrilasi sesudah setiap obat ini diberikan:
(i) Lidokain
I mg/kg berat badan secara IV bolus dan ulangi tindakan defibrilasi. Jika tidak
berhasil, ulangi bolus dan pertahankan infus rumatan pada dosis 1-4 mg/menit.
(ii)
Bretilium, 5 mg/kg secara IV bolus, dan ulangi tindakan defbrilasi.
(iii)
Prokainamid 100 mg secara IV bolus selama I menit, 200 mg selama 5 menit sampai
tercapai suatu loading dose sebesar 1 gram, dan ulangi tindakan defibrilasi.
(iv)
Propanolol 1-5mg dengan dosis 1 mg/menit secara IV dan ulangi tindakan
defibrilasi.
(v) Atropin
1 mg secara IV, ulangi tindakan defibrilasi.
(2) Asistole
ventrikel (AV).
a.
Konfirmasikan pada 2 lead EKG. Jika meragukan obati sebagai FV.
b. Berikan
epinefrin 0,5-1 mg secara IV bolus. Jika rute IV perifer tidak tersedia gunakan
rute sublingual IV atau berikan kedalam trakea dan berikan ventilasi secara
besar-besaran. Apabila tersedia aktifkan alat pacu jantung per kutaneus. Jika
tidak efektif, lakukan di bawah ini.
c. Berikan
Atropin 1-2 mg secara IV bolus.
d.
Pertimbangkan pemberian natrium bikarbonat 1 mEq/kg, terutama jika henti
jantung itu tidak terawasi atau kejadian berlarut-larut.
e. Sangat
jarang suatu alat pacu jantung transvena dapat merestorasi ke suatu irama
efektif.
(3) EMD.
a Dicirikan
dengan suatu kompleks EKG yang terorganisir dengan tanpa adanya bukti-bukti aksi
pemompaan mekanis, yakni untuk mengesampingkan tamponade perikardial, tension
pneumotoraks, hipovolemia, asidosis yang berat dan emboli paru.
b Berikan
epinefrin 0,5-1 mg secara IV.
c
Pertimbangkan natrium bikarbonat 1 mEq/kg.
d Jika EKG
memperlihatkan irama idioventrikuler di mana tidak terdapat gelombang P dan
terdapat QRS yang lebar dan aneh, pertimbangkan pemberian atropin 1 mg secara
IV.
0 komentar:
Posting Komentar