Tidak
Menyalahgunakan Obat-obatan
Obat, pada
hakikatnya adalah racun, apalagi golongan obat keras. Oleh karena itu, obat
tidak boleh diminum sembarangan. Sadar atau tidak sadar, orang tua sering
melakukan pengobatan sendiri untuk din i sendiri atau untuk sang anak. Jadi,
mereka bertindak dan berpikir bagaikan seorang dokter. Kalau pola pikir,
analisis, dan tindakan kita sebagai orang tua dalam memberikan obat untuk anak
itu tepat, tidak jadi masalah. Namun, kalau tidak tepat, ini yang berabe. Sakit
anak bisa tidak sembuh atau malah bertambah parah. Selain tidak boleh
memberikan pengobatan sendiri pada anak, orang tua juga wajib mengajarkan anak
minum obat secara teratur sesuai dengan anjuran dokter. Tidak boleh seenaknya
meminum obat. Tentu saja, untuk kasus-kasus ringan, misalnya anak mengalami
luka kecil karena terjatuh orang tua bisa memberikan terapi yang tepat dengan
memberinya obat merah atau betadine. Atau, tatkala anak panas/ demam, kita bisa
memberikan obat turun panas untuk anak yang kita kenal.
Meskipun
begitu, ada patokan sederhana mengenai sakit ‘panas’ yang biasa diderita anak.
Kalau anak sakit panas/ demam, kita bisa berikan obat turun panas yang biasa
kita kenal. Yang penting baca aturan pakai sehingga tidak berlebihan dalam
memberikannya. Tetapi wajib diperhatikan, kalau selama 2 atau 3 hari panas anak
turun naik atau malah tidak turun-turun, maka segeralah bawa ke dokter untuk
diperiksa lebih lanjut, termasuk pemeriksaan laboratorium darah karena
kemungkinan anak menderita penyakit-penyakit lebih serius pada organ dalam
tubuhnya, misalnya gejala tipus, radang amandel, flu berat, atau malah
terserang cacar.
Orang tua
yang tidak peduli atau nekat mengobati anaknya dengan pola pikir sendiri, bisa
mengakibatkan anak masuk ke dalam situasi berbahaya. Misalnya, tetap memberikan
obat turun panas, bahkan dengan dosis dua kali lipat ketika panas anaknya tidak
turun-turun karena sebenarnya ia terserang tiptts.Yang terjadi adalah panas
anak bukannya turun, tetapi malah mengalami kenaikan panas tinggi secara
tiba-tiba yang disebut ‘breaktrough fever’(biasanya terjadi pada malam hari).
Mengapa ini bisa terjadi? Karena obat turun panas hanyalah obat simptomatik,
artinya sebagai penghilang gejala, bukan sebagai obat penghilang penyebab.
Jadi, kalau penyebab sakit anak adalah tipus (dalam hal ini adalah kuman
salmonella hosa), maka obatnya adalah antibiotik seperti chloramphenicol. Kuman
yang tidak teratasi sempurna dengan antibiotika terus memproduksi
toksin-toksinnya (racun), menumpuk sehingga suatu saat menyebabkan kenaikan
panas tinggi secara tiba-tiba.
Kemudian,
mengenai minum obat secara teratur dan benar. Katakanlah seorang bernama Lulu,
11 tahun, sakit batuk pilek disertai flu, dokter memberinya obat berikut:
-
Amoksisilin 250 mg 10 tablet, 3 x sehari 1 tablet sebagai antibiotika.
- Bodrexin
(Asam asetilsalisilat 80 mg, glisina 40 mg) 10 tablet, 3 x sehari 1 tablet
sebagai obat flu dan penurun panas.
- OBH (Obat
Batuk Hitam) 1 botol, 3 x sehari 1 sendok teh, sebagai pengeluar dahak atau
carminativum.
- Vitamin C
250 mg, 1 x sehari 1/2-1 tablet, untuk membantu percepatan penyembuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh.
Ajari anak
untuk minum obat-obat ini secara teratur dan benar, sesuai dengan anjuran
dokter. Sebab, yang sering terjadi adalah (baik orang dewasa atau anak), baru
minum obat beberapa kali, lalu sakitnya menjadi jauh berkurang dan badan terasa
enak, sehingga mereka lupa untuk meneruskan minum obatnya, terutama antibiotika
yang merupakan golongan obat keras. Obat-obatan seperti Bodrexin, OBH atau vit.
C, diminum agak tidak teratur (asal tidak ngawur) masih tidak apa-apa, dalam
arti tidak membahayakan. Jadi, kalau Lulu berhenti minum obat Bodrexin ketika
panas badannya sudah turun, tidak masalah. Lupa minum vit. C-nya dua hari
kemudian, juga tidak masalah (karena bagaimana pun daya tahan tubuhnya dibantu
dengan makanan sehari-hari yang dimakan). OBH-nya juga agak lupa-lupa
meminumnya, masih tidak membahayakan. Akan tetapi, untuk antibiotika, tidal ada
pilihan. Obat ini harus diminum teratur dan sampai habis, kecuali jika terjadi
alergi. Persoalannya menjadi lain. Obat harus segera dihentikan.
Katakanlah,
Lulu baru minum obatnya selama 3 kali dan is merasa badannya menjadi jauh lebih
enak dan penyakitnya sangat berkurang. Mulailah Lulu lupa meminum obat
antibiotikanya. Atau orang tuanya lupa mengontrol Lulu untuk minum obatnya
dengan teratur. Di kemudian hari, Lulu kembali sakit batuk. Orang tuanya yang
melihat sisa obat yang lalu (yaitu sisa amoksisilin 500 mg 7 tablet), akan
memberikannya untuk mengobati Lulu. Namun, apa yang terjadi? Sembuhkah batuk
Lulu dengan obat sisa tadi? Sangat boleh jadi tidak. Paling tidak, batuk
tersebut sekarang menjadi sulit sembuh. Tentu, orang tua Lulu akan kembali
segera membawanya ke dokter, disertai keterangan, “Dok, itu batuknya nggak
sembuh-sembuh, padahal diobati pakai obat dari dokter yang waktu itu lho
(sambil menunjukkan bekas bungkus amoksisilin).” Dokternya cenderung memberikan
obat antibiotika lain yang lebih baru gencrasinya, lebih luas spektrumnya, serta
lebih mahal. Katakanlah golongan makrolidum, diberikan 10 tablet.
Lulu kembali
minum obat dengan ceroboh. Baru minum obat tiga kali, badannya terasa enak dan
penyakitnya menjadi ringan, ia (dan juga orang tuanya) mulai kelupaan lagi
untuk menghabiskan obat antibiotikanya. Beberapa bulan kemudian, Lulu kembali
terserang batuk. °rang tua Lulu kembali melakukan hal yang sama, yaitu dengan
memberikan 7 tablet antibiotika golongan makrolidum sisa yang tidal( dihabiskan
tadi. Apakah batuk Lulu menjadi sembuh? Besar kemungkinannya adalah tidak.
Batuk Lulu tidak atau sulit sembuh. Ketika kembali ke dokter dengan
mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya, maka dokter bisa memberikan Lulu
obat antibitotika yang lebih baru, lebih canggih, dan lebih mahal harganya,
katakanlah dari golongan ciprofloxacin, sefalosporin, dan sebagainya.
Apa
sebenarnya yang terjadi kalau kita minum obat antibiotika dengan cara itu?
Ternyata, minum obat antibiotika yang tidak dihabiskan sempurna mengakibatkan
kuman tidak akan terbunuh dengan sempurna pula. Kuman yang tidak mati akan
membuat mekanisme resistensi atau kekebalan dengan berbagai cara. Bisa dengan
jalan membuat enzim penangkal, atau melalui mekanisme genetik. Akibatnya, kuman
mampu mengalahkan obat antibiotika dari jenis sama (yang telah dikenalnya) yang
telah diberikan sebelumnya. Kalau pola minum obat ini diteruskan, maka
lama-kelamaan, sakit batuk yang diderita Lulu menjadi semakin sulit sembuh
karena tidak ada obat lagi yang bisa menyembuhkan. Belum lagi dokter akan cenderung
terus memberikan obat antibiotika yang makin lama makin keras daya bunuhnya,
makin luas spektrum pengobatannya, makin mahal biayanya, sekaligus juga makin
besar efek sampingnya. Maka di kemudian hari, Lulu bisa terancam keracunan
obat.
Sakit batuknya
Lulu tadi dapat berkelanjutan menjadi batuk kronis bertahun-tahun, bukan
sesuatu yang sepele lagi. Kuman dari penyakit batuk tadi bisa bermigrasi ke
daerah telinga sehingga menyebabkan tuli konduktif. Kalau menyeberang ke rongga
sinus, kuman tadi akan menyebabkan sinusitis, yang bisa menyebabkan Lulu
menjadi sentrap sentrap karena pileknya tak kunjung berhenti. Hal ini bisa
terjadi karena ada kesatuan pathway di antara telinga — hidung — tenggorokan.
Gangguan di salah satu tempat tadi akan dengan mudah berjalan ke tempat yang
lain. Tambah masalah kan?
Pustaka
Mencegah
& Mengatasi Krisis Anak oleh TA Tatag Utomo
0 komentar:
Posting Komentar