Latar Belakang Otonomi Daerah
Sejak awal 1990-an telah berkembang berbagai wacana di
antara para pemerhati pemerintahan tentang desentralisasi pemerintah di
Indonesia. Persatuan Sarjana Ilmu Administrasi (PERSADI) bisa dicatat sebagai
salah satu pelopor dalam wacana mi. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
(MIPI) mengikuti jejak PERSADI dalam mengembangkan berbagai kajian kritis
terhadap konsep otonomi yang tertuang dalam UU No. 5 tahun 1974. Secara umum
ada dua pendapat yang menampilkan dalam diskusi-
diskusi itu: Pertama, bahwa UU
No. 5 tahun 1974 masih relevan, hanya belum dilaksanakan secara konsisten.
Pendapat ini kemudian mendorong lahimya kebijakan pemerinah berupa proyek
percontohan otonomi di satu daerah tingkat II untuk masing- masing propinsi.
Kedua, bahwa UU No. 5 tahun 1974 sudah harus diganti sama sekali.
Dalam pengamatan saya waktu itu, dua argumentasi ini
memiliki alasan yang objektif. Pendapat pertama bisa berlindung dibalik alasan
bahwa pemerintahan daerah yang berlaku saat itu memang belum sepenuhnya
mencerminkan konsep UU No. 5 tahun 1974. Titik berat otonomi pada daerah
tingkat II (kabupaten dan kotamadya), yang merupakan amanah pasal 11 ayat 1 UU
No. 5 tahun 1974 belum terwujud. Keengganan pemerintah pusat untuk
mendelegasikan wewenang ke daerah memang berlebihan. Ironisnya, pemerintah
daerah sendiri, yang memang merupakan produk dari sistem yang sentralistik itu,
pada umumnya kenyataan ini, atau paling tidak berada pada posisi yang sulit
untuk mengoreksinya. Bahkan bisa difahami jika beberapa aparat pemerintah
daerah, khususnya kepala daerah, justru menikmati sistem yang sentralistik itu.
Bukankah sistem ini telah menempatkan kepala daerah sekaligus sebagai wakil
pemerintah pusat dan karena itu membebaskan mereka dari tanggungjawab politik
terhadap DPRD dan masyarakat di daerah atas setiap kebijakan yang dilakukannya?
Bukankah di bawah sistem itu DPRD hanya menjadi alat politik untuk memberi
legitimasi atas setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat?
Di lain pihak, sistem pemerintahan daerah menurut UU No.5
tahun 1974 itu telah menyulitkan lahirnya pemerintahan dengan akuntabilitas
publik yang cukup, dan karena itu tidak sejalan dengan aspirasi demokratisasi
pemerintahan. Keadaan ini memperkuat argumen dari pendapat yang kedua untuk
sama sekali meninggalkan konsep otonomi yang sedang berlaku dan menggantinya
dengan sesuatu yang baru. Pendapat ini memperoleh penguatan setelah kita
memasuki era reformasi, menyusul rontoknya kekuasaan Soeharto.
Konsep otonomi menurut UU No. 5 tahun 1974 dipandang
sebagai penyebab dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan
peme-rintahan di daerah selama lebih dari dua dekade terakhir. Kenyataan belum
diperolehnya pemimpin dan kepemimpinan pemerintahan yang terbaik sesuai dengan
aspirasi masyarakat pada masa itu adalah akibat dari pola rekrutmen yang
tertuang dalam UU No. 5 tahun 1974 itu. Pola itu telah memberi pembenaran
terhadap berlakunya rekayasa pemilihan pemimpin pemerintahan yang tidak
transparan dan tidak memiliki “sense of public accountability”. Kurangnya
kewenangan yang diletakkan di daerah juga telah menjadi penyebab dari lemahnya
ke-mampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dalam menye-lesaikan
berbagai masalah dan menjawab berbagai tantangan.
Keleluasaan untuk menetapkan prioritas kebijakan, yang
merupakan syarat penting untuk lahimya prakarsa dan kreativitas, memang tidak
tersedia. Semua keputusan penting hanya bisa diambil oleh pemerintah pusat.
Akibatnya, selalu terjadi kelambanan dalam merespons dinamika dan permasalahan
yang terjadi di daerah. Dalam keadaan seperti ini, partisipasi masyarakat dalam
proses pembuatan kebijakan publik menjadi sangat lemah.
Secara teknis administrasi, tiadanya kewenangan daerah
dalam proses rekrutmen dan promosi pegawai, serta kakunya organisasi
pemerintahan di daerah akibat diterapkannya pola uniformitas telah menyebabkan
tidak efektifnya daya kerja birokrasi. Beberapa dari unit organisasi dan
institusi yang dibangun pun sudah cenderung mubazir.
Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali
dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia merupakan konsekuensi dari sistem
negara kesatuan. Padahal, argumen ini tidak memiliki dasar yang kuat, karena
negara kesatuan RI yang dikonsepsikan oleh UUD 1945 sangat menghargai hak-hak
otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa (lihat penjelasan UUD
1945). Disamping itu, secara teoretik, dengan kebhinekaan budaya masyarakat
Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat
kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya menyulitkan kita
untuk mene-rapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah.
Negara kesatuan sebagai sebuah komitmen politik tidak seyogianya digunakan
sebagai jastifikasi bagi pendekatan yang seragam dan sentralistik itu.
Dari berbagai wacana itu, pemerintahan Habibie kemudian
sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan desentralisasi yang baru diperlukan demi
menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 5 tahun 1974 harus diubah. Basil dari perubahan itu tertuang dalam UU
No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.
Pustaka
Desentralisasi & otonomi daerah Oleh Syamsuddin Haris
0 komentar:
Posting Komentar