Kamis, 29 Maret 2012

Latar Belakang Otonomi Daerah




Latar Belakang Otonomi Daerah


Sejak awal 1990-an telah berkembang berbagai wacana di antara para pemerhati pemerintahan tentang desentralisasi pemerintah di Indonesia. Persatuan Sarjana Ilmu Administrasi (PERSADI) bisa dicatat sebagai salah satu pelopor dalam wacana mi. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) mengikuti jejak PERSADI dalam mengembangkan berbagai kajian kritis terhadap konsep otonomi yang tertuang dalam UU No. 5 tahun 1974. Secara umum ada dua pendapat yang menampilkan dalam diskusi-
diskusi itu: Pertama, bahwa UU No. 5 tahun 1974 masih relevan, hanya belum dilaksanakan secara konsisten. Pendapat ini kemudian mendorong lahimya kebijakan pemerinah berupa proyek percontohan otonomi di satu daerah tingkat II untuk masing- masing propinsi. Kedua, bahwa UU No. 5 tahun 1974 sudah harus diganti sama sekali.

Dalam pengamatan saya waktu itu, dua argumentasi ini memiliki alasan yang objektif. Pendapat pertama bisa berlindung dibalik alasan bahwa pemerintahan daerah yang berlaku saat itu memang belum sepenuhnya mencerminkan konsep UU No. 5 tahun 1974. Titik berat otonomi pada daerah tingkat II (kabupaten dan kotamadya), yang merupakan amanah pasal 11 ayat 1 UU No. 5 tahun 1974 belum terwujud. Keengganan pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah memang berlebihan. Ironisnya, pemerintah daerah sendiri, yang memang merupakan produk dari sistem yang sentralistik itu, pada umumnya kenyataan ini, atau paling tidak berada pada posisi yang sulit untuk mengoreksinya. Bahkan bisa difahami jika beberapa aparat pemerintah daerah, khususnya kepala daerah, justru menikmati sistem yang sentralistik itu. Bukankah sistem ini telah menempatkan kepala daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat dan karena itu membebaskan mereka dari tanggungjawab politik terhadap DPRD dan masyarakat di daerah atas setiap kebijakan yang dilakukannya? Bukankah di bawah sistem itu DPRD hanya menjadi alat politik untuk memberi legitimasi atas setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat?

Di lain pihak, sistem pemerintahan daerah menurut UU No.5 tahun 1974 itu telah menyulitkan lahirnya pemerintahan dengan akuntabilitas publik yang cukup, dan karena itu tidak sejalan dengan aspirasi demokratisasi pemerintahan. Keadaan ini memperkuat argumen dari pendapat yang kedua untuk sama sekali meninggalkan konsep otonomi yang sedang berlaku dan menggantinya dengan sesuatu yang baru. Pendapat ini memperoleh penguatan setelah kita memasuki era reformasi, menyusul rontoknya kekuasaan Soeharto.

Konsep otonomi menurut UU No. 5 tahun 1974 dipandang sebagai penyebab dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan peme-rintahan di daerah selama lebih dari dua dekade terakhir. Kenyataan belum diperolehnya pemimpin dan kepemimpinan pemerintahan yang terbaik sesuai dengan aspirasi masyarakat pada masa itu adalah akibat dari pola rekrutmen yang tertuang dalam UU No. 5 tahun 1974 itu. Pola itu telah memberi pembenaran terhadap berlakunya rekayasa pemilihan pemimpin pemerintahan yang tidak transparan dan tidak memiliki “sense of public accountability”. Kurangnya kewenangan yang diletakkan di daerah juga telah menjadi penyebab dari lemahnya ke-mampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dalam menye-lesaikan berbagai masalah dan menjawab berbagai tantangan.

Keleluasaan untuk menetapkan prioritas kebijakan, yang merupakan syarat penting untuk lahimya prakarsa dan kreativitas, memang tidak tersedia. Semua keputusan penting hanya bisa diambil oleh pemerintah pusat. Akibatnya, selalu terjadi kelambanan dalam merespons dinamika dan permasalahan yang terjadi di daerah. Dalam keadaan seperti ini, partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik menjadi sangat lemah.

Secara teknis administrasi, tiadanya kewenangan daerah dalam proses rekrutmen dan promosi pegawai, serta kakunya organisasi pemerintahan di daerah akibat diterapkannya pola uniformitas telah menyebabkan tidak efektifnya daya kerja birokrasi. Beberapa dari unit organisasi dan institusi yang dibangun pun sudah cenderung mubazir.

Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia merupakan konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Padahal, argumen ini tidak memiliki dasar yang kuat, karena negara kesatuan RI yang dikonsepsikan oleh UUD 1945 sangat menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa (lihat penjelasan UUD 1945). Disamping itu, secara teoretik, dengan kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya menyulitkan kita untuk mene-rapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Negara kesatuan sebagai sebuah komitmen politik tidak seyogianya digunakan sebagai jastifikasi bagi pendekatan yang seragam dan sentralistik itu.

Dari berbagai wacana itu, pemerintahan Habibie kemudian sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan desentralisasi yang baru diperlukan demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU No. 5 tahun 1974 harus diubah. Basil dari perubahan itu tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.

Pustaka
Desentralisasi & otonomi daerah Oleh Syamsuddin Haris


  • Ramalan Hari Ini
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Share

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More