Konservasi
Sumber Daya Genetik
Hutan alam
tropika di Indonesia dewasa ini menghadapi masalah kerusakan yang menjadi
semakin parah karena adanya penebangan kayu secara besar-besaran dan kebakaran
hutan yang terjadi setiap musim kemarau tiba. Kerusakan yang terjadi secara
cepat menyebabkan banyak ahli kehutanan berpendapat bahwa hutan alam tropika di
Indonesia akan segera punah pada tahun 2015, terutama di Sumatra dan
Kalimantan.
Rusak/punahnya
hutan alam tropika di Indonesia, selain tampak pada kerusakan fisik secara
nyata juga tercakup di dalamnya sumber genetik tumbuhan yang merupakan salah
satu aspek yang sangat berpengaruh pada regenerasi hutan di masa yang akan
datang. Padahal kelestarian hutan alam tergantung dari kemampuan hutan tersebut
untuk meremajakan diri.
Kondisi
tersebut membuat Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan untuk melakukan
konservasi dan pelestarian sumber daya alam hayati pada prioritas utama. Tujuan
utama dari kebijakan ini adalah untuk mempertahankan biodiversitas yang merupakan
landasan terciptanya stabilitas ekosistem. Biodiversitas memiliki arti tidak
hanya berkaitan dengan jumlah jenis tetapi juga meliputi variasi dan keunikan
gen tumbuhan beserta ekosistemnya.
Ada beberapa
cara yang dapat diterapkan untuk melakukan konservasi genetik, (1) Konservasi
ex-situ, yang dikerjakan/dibangun di luar wilayah asal tanaman, meliputi kebun
benih, kebun klon, bank klon, dan pertanaman uji provenans. Konservasi dengan
cara ini sangat menguntungkan guna kepentingan pemuliaan dan program
penghutanan kembali yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas genetik.; (2)
Konservasi in-situ, yang dikerjakan/dibangun di wilayah tanaman berasal. Secara
teoritis, konservasi in-situ lebih menguntungkankan sebab selain jenis tumbuhan
yang akan dikonservasi, juga termasuk di dalamnya habitat atau ekosistem dimana
tumbuhan tersebut tumbuh dan berkembang juga ikut dipertahankan.
Kondisi asli
ini akan menyebabkan tetap terkontrolnya interaksi genetik dengan
lingkungannya, yang meliputi adaptasi dan evolusi populasi yang dikonservasi.
Keanekaragaman
genetik pada sebuah hutan sesungguhnya merupakan sebuah hal yang kompleks,
heterogen dan dinamis; keanekaragaman tersebut terwujud oleh adanya interaksi
antara lingkungan secara fisik, sistem biologis hutan dan populasinya, serta
pengaruh manusia dan lingkungan sosial sekitar hutan. Untuk melakukan
konservasi atas hutan tersebut diperlukan kebijakan yang tepat sehingga dapat
menguntungkan semua pihak.
Ada beberapa
faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan konservasi genetik yang
diharapkan:
Pertimbangan atas berbagai macam
kepentingan konservasi dikaitkan dengan hak masyarakat yang tinggal di sekitar
wilayah konservasi. Konflik lahan yang seringkali terjadi pada kawasan hutan,
dimana masyarakat sekitar hutan berusaha untuk menggarap tanah hutan dan diakui
sebagai sebagai miliknya membuat pemerintah tidak dapat mengabaikan keberadaan
mereka. Tidak adanya pendekatan yang tepat terhadap masyarakat akan menyebabkan
setiap program yang direncanakan terhadap wilayah hutan akan mendapat hambatan
yang serius. Hal ini bukan saja karena ketidaktahuan masyarakat, tetapi juga
karena masyarakat mencoba untuk mendapatkan atau memperluas tanah garapannya.
Kondisi semacam ini dapat diatasi apabila pemerintah berusaha untuk
mengakomodasi kepentingan mereka sejalan dengan program yang direncanakan.
Keikutsertaan masyarakat dalam program yang direncanakan diharapkan akan
membuat masyarakat berpikir/mengerti akan kepentingannya sehingga turut
mewujudkan atau paling tidak menjaganya;
Kebijakan integrasi, koordinasi dan
inovasi. Guna memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka harus ada wewenang
dan tanggung jawab yang jelas antara pihak-pihak yang bekerja dalam lingkup
kehutanan. Pemerintah yang berusaha melakukan konservasi hutan dan instansi
swasta yang pada umumnya mementingkan aspek komersial, harus mengadakan
integrasi dan koordinasi sehingga masing-masng pihak dapat mengambil keuntungan
tanpa merugikan pihak yang lain dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan
konservasi hutan.
Kapasitas dan kerjasama antar institusi
pemerintah. Program yang dicanangkan pemerintah, seringkali menimbulkan dampak
yang tidak diharapkan dari adanya kebijakaan antar departemen yang saling
berbenturan. Sebagai contoh, tidak jarang kebijakan pada bidang pertanian
membuat program penghijauan kawasan hutan menjadi tidak mungkin dilaksanakan
karena perubahan tata guna lahan secara sepihak. Hal seperti ini seharusnya
bias dihindari apabila masing-masing departemen saling menghargai dan bias
menyamakan persepsi atas status suatu lahan. Bahkan akan sangat menguntungkan
apabila antar departemen melakukan kerjasama untuk mengelola lahan sehingga
pemanfaatannya bias maksimal.
Penunjukan secara tepat berkait dengan tipe
konservasi yang sesuai. Untuk dapat memutuskan secara tepat tipe konservasi
yang diperlukan, harus dipahami lebih dahulu bahwa ekosistem hutan sangat
kompleks, baik menyangkut jenis-jenis tumbuhan yang ada di dalamnya, nilai
ekonomi kayu atau tumbuhannya maupun status populasinya. Konservasi ek situ
akan efektif dilakukan apabila memang saangat tidk dimungkinkan untuk melakukan
konservasi in situ pada jenis yang diinginkan, atau terdapat ancaman kerawanan
yang tinggi sehingga keamanan jenis tidak dapat dijamin pada lingkungan
aslinya. Sedangkan konservasi insitu akan efektif dilakukan apabila fungsi dan
proses ekosistem serta proses interaksi antar spesies dalam kawasan konservasi
berjalan sesuai dengan sifat alaminya, tanpa gangguan, sehingga memunculkan
karakteristik yang tepat untuk konservasi in situ.
Pengembangan kebijakan konservasi yang
terintegrasi. Mengingat pentingnya konservasi genetik maka pihak-pihak yang
bergerak di bidang kehutanan, pemerintah maupun swasta, hendaknya menangani
permasalahan ini secara khusus. Apabila perlu sangat dimungkinkan pelaksanaan
konservasi genetik ini dengan melibatkan berbagai untur secara terpadu agar
diperoleh hasil yang maksimal.
0 komentar:
Posting Komentar