Toksoplasma pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran,
lahir prematur, lahir mati, lahir cacat atau infeksi toksoplasma bawaan.
Bilamana ibu hamil terkena infeksi tokso-plasma maka risiko terjadinya
toksoplasmosis bawaan pada bayi yang dikandungnya berkisar antara 30-40%.
Infeksi toksoplasma
bawaan ini dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan
mengalami kerusakan mata, perkapuran otak, dan keterbelakangan mental, namun
seringkali gejala ini tidak terlihat pada bayi yang baru lahir (neonatus).
Beberapa faktor yang mungkin berperan atas munculnya gejala adalah fungsi
plasenta sebagai sawar (barrier), status kekebalan (imunitas) ibu hamil, dan
umur kehamilan ketika terjadinya infeksi pada ibu. Makin besar umur kehamilan
ketika terjadinya infeksi, makin besar pula kemungkinan terjadinya infeksi
toksoplasma bawaan pada janin. Pada pihak lain, makin dini terjadinya infeksi
pada janin, makin berat kerusakan (kelainan) yang dapat terjadi pada janin dan
makin besar kemungkinan abortus.
Siklus hidup parasit toksoplasma
Toxoplasma gondii tersebar luas di alam pada manusia maupun
hewan dan merupakan salah satu penyebab infeksi yang paling sering terjadi pada
manusia di seluruh dunia. Parasit ini adalah suatu protozoa yang tergolong
Coccidia, dan mempunyai 3 (tiga) bentuk:
Ookista (bentuk
resisten yang berada di lingkungan luar).
Trofozoit (bentuk
vegetatif dan proliferatif).
Kista (bentuk
resisten yang berada di dalam tubuh manusia dan hewan).
Toxoplasma berkembang-biak di usus hewan berbulu khususnya
kucing, menghasilkan keluarnya ookista bersama tinja kucing. Seekor kucing
dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Ookista
membentuk sporozoit dalam 1 sampai 3 hari dan tetap infektif selama berbulan-bulan
sampai setahun di dalam tanah lembab dan panas, yang tidak kena sinar matahari.
Tanah yang tercemar kotoran hewan (ku-cing) menyebabkan infeksi pada tikus dan
burung, yang kemudian akan menyebabkan reinfeksi kembali pada kucing. Dengan
cara ini daur hidup parasit ini sudah lengkap. Anak-anak juga dapat terinfeksi
karena bermain di tanah yang tercemar kotoran kucing. Tanah juga merupakan
sumber infeksi untuk herbivora seperti kambing, domba, babi dan ternak. Karena
infeksi pada kebanyakan hewan menetap secara menahun, maka daging yang mentah
atau setengah matang menjadi sumber infeksi untuk manusia dan hewan karnivora.
Gejala dan wujud klinis toksoplasmosis
Gejala yang timbul pada infeksi toksoplasma tidak khas,
sehingga penderita sering tidak menyadari bahwa dirinya telah terkena infeksi.
Tetapi sekali terkena infeksi toksoplasma maka parasit ini akan menetap
(persisten) dalam bentuk kista pada organ tubuh penderita selama siklus
hidupnya. Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah pembesaran kelenjar
getah bening (limfe) dikenal sebagai limfadenopati, yang dapat disertai demam.
Kelenjar limfe di leher adalah yang paling sering terserang. Gejala
toksoplasmosis akut yang lain adalah demam, kaku leher, nyeri otot (myalgia),
nyeri sendi (arthralgia), ruam kulit, gidu (urticaria), hepatosplenomegali atau
hepatitis.
Wujud klinis toksoplasmosis yang paling sering pada anak
adalah infeksi retina (korioretinitis), biasanya akan timbul pada usia remaja
atau dewasa. Pada anak, juling merupakan gejala awal dari korioretinitis. Bila
makula terkena, maka penglihatan sen-tralnya akan terganggu.
Pada penderita dengan imunodefisiensi seperti penderita
cacat imun, penderita kanker, penerima cangkok jaringan yang mendapat
pengobatan imunosupresan, dapat timbul gejala ringan sampai berat susunan saraf
pusat seperti ensefalopati, meningoense-falitis, atau lesi massa otak dan
perubahan status mental, nyeri kepala, kelainan fokal serebral dan
kejang-kejang, bahkan pada penderita AIDS seringkali mengakibatkan kematian.
Wujud klinis toksoplasmosis bawaan adalah kelainan
neurologis: hidrosefalus, mikrose-falus, kejang, keterlambatan psikomotor,
perkapuran (kalsifikasi) abnormal pada foto rontgenkepala. Selain itu tampak
pula gangguan penglihatan: mikroftalmi, katarak, re-tinokoroiditis; juga
gangguan pendengaran, dan kelainan sistemik: hepatosplenomegali, limfadenopati,
dan demam yang tidak diketahui sebabnya.
Pemeriksaan
Diagnosis penyakit toksoplasmosis umumnya ditegakkan karena
adanya kecenderu-ngan yang mengarah pada penyakit tersebut, antara lain adanya
riwayat:
infertilitas,
abortus, lahir mati, kelainan bawaan
memelihara
binatang piaraan berbulu, misalnya kucing
Pemeriksaan yang digunakan saat ini untuk mendiagnosis
toksoplasmosis adalah pemeriksaan serologis, dengan memeriksa zat anti
(antibodi) IgG dan IgM Toxsoplasma gondii. Antibodi IgM dibentuk pada masa
infeksi akut (5 hari setelah infeksi), titernya meningkat dengan cepat (80
sampai 1000 atau lebih) dan akan mereda dalam waktu relatif singkat (beberapa
minggu atau bulan). Antibodi IgG dibentuk lebih kemudian (1-2 minggu setelah
infeksi), yang akan meningkat titernya dalam 6-8 minggu, kemudian menurun dan
dapat bertahan dalam waktu cukup lama, berbulan-bulan bahkan lebih dari
setahun. Oleh karena itu, temuan antibodi IgG dianggap sebagai infeksi yang
su-dah lama, sedangkan adanya antibodi IgM berarti infeksi yang baru atau
pengakifan kembali infeksi lama (reaktivasi), dan berisiko bayi terkena
toksoplasmosis bawaan. Berapa tingginya kadar antibodi tersebut untuk
menyatakan seseorang sudah terinfeksi toksoplasma sangatlah beragam, bergantung
pada cara peneraan yang dipakai dan kendali mutu dan batasan baku masing-masing
laboratorium. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah hasil penelitian
yang dilakukan oleh Teguh Wahyu S dkk. (1998), yang menyatakan seorang ibu yang
tergolong positif bilamana titer IgGnya 2.949 IU/mL atau IgM 0.5 IU/mL,
sedangkan tergolong negatif bilamana titer IgG < 2.0 IU/mL atau IgM < 0.5
IU/mL.
Tidak semua ibu hamil yang terinfeksi toksoplasma akan
menularkan toksoplasma ba-waan pada bayinya. Bilamana dalam pemeriksaan ibu
sebelum hamil menunjukkan IgG positif terhadap toksoplasma, berarti ibu
tersebut terinfeksi sudah lama, tetapi bukan berarti bahwa 100% bayinya akan
bebas dari toksoplasmosis bawaan. Apabila pemeriksaan serologis baru dilakukan
pada saat hamil, maka :
bila IgG (+) dan
IgM (-); dianggap sebagai infeksi lama dan risiko janinnya terinfeksi cukup
rendah sehingga ada sebagian pakar yang berpendapat tidak perlu diobati,
kecuali jika pasien itu mengidap gangguan kekebalan.
bila IgG (+) dan
IgM (+); uji perlu diulang lagi 3 minggu kemudian. Bilamana titer IgG tidak
meningkat maka dianggap infeksi terjadi sebelum kehamilan dan risiko untuk
janinnya cukup rendah, sedangkan jika titer IgG meningkat 4 kali lipat dan IgM
tetap positif maka ini berarti bahwa telah terjadi infeksi baru dan janin
sangat berisiko mengalami toksoplasmosis bawaan atau terjadi keguguran.
bila IgG (-) dan
IgM (-); bukan berarti terbebas dari toksoplasmosis bawaan, justru pada ibu ini
pemeriksaan harus diulang setiap 2-3 bulan untuk menasah serokonversi
(perubahan negatif menjadi positif).
Bilamana pada ibu
hamil ditemukan IgM (+) maka pengobatan sudah pasti harus diberikan dan
pemeriksaan ultrasonografi dilakukan berulang kali untuk menen-tukan adanya
kelainan janin.
ultrasonografi
serial setiap 3 minggu dilakukan untuk menentukan adanya kelainan, misalnya:
asites, pembesaran rongga otak (ventrikulomegali) (V/H), pemesaran hati
(hepatomegali), perkapuran (kalsifikasi) otak. Bila pada janin terdapat
kelainan maka perlu dipertimbangkan untuk peng-akhiran (terminasi) kehamilan.
bila mungkin,
dilakukan pengambilan darah janin pada kehamilan 20-32 minggu untuk pembiakan
parasit (inokulasi) pada mencit. Bila inokulasi memberikan hasil positif maka
perlu dipertimbangkan untuk pengakhiran kehamilan.
setelah bayi
lahir perlu dilakukan pemeriksaan lengkap terhadap bayi, antara lain:
pengambilan darah talipusat ketika bayi baru saja lahir untuk pemeriksaan
serologis antibodi janin atau isolasi T. gondiii, pemeriksaan titik-cahaya mata
(funduskopi), dan USG atau foto rontgen tengkorak.
Diagnosis
toksoplasma bawaan pada bayi lebih sukar ditetapkan karena gejala klinis dari
infeksi toksoplasma bawaan sangat beraneka ragam dan seringkali subklinis
(tidak terlihat) pada neonatus. Oleh karena itu perlu dilakukan juga
pemeriksaan serologis pada neonatus, terutama bilamana diketahui ibunya
terinfeksi selama kehamilan. Antibodi IgG dapat menembus plasenta, sedangkan
antibodi IgM tidak dapat menembus plasenta. Dengan demikian, apabila pada darah
bayi ditemukan antibodi IgG mungkin hanya merupakan pindahan (transfer) IgG
ibu, dan lambat-laun akan habis. Pada usia 2-3 bulan, bayi sudah dapat
membentuk antibodi IgG sendiri, bilamana bayi terinfeksi toksoplasma bawaan
maka konsentrasi IgGnya akan mulai meningkat lagi setelah IgG yang diperoleh
dari ibunya habis. Tetapi jika ditemukan antibodi IgM, maka ini menunjukkan
infeksi nyata pada bayi (toksoplasmosis bawaan).
Pengobatan
Untuk
mengendalikan infeksi yang persisten ini, umumnya diperlukan reaksi imun tubuh
yang memadai (adekuat). Penderita toksoplasma dengan sistem imun yang normal
tidak memerlukan pengobatan, kecuali ada gejala-gejala yang berat atau
berkelanjutan. Toksoplasmosis pada penderita imunodefisiensi harus diobati
karena dapat mengakibatkan kematian.
Toksoplasmosis
pada ibu hamil perlu diobati untuk menghindari toksoplasmosis bawaan pada bayi.
Obat-obat yang dapat digunakan untuk ibu hamil adalah spiramisin 3 gram/hari
yang terbagi dalam 3-4 dosis tanpa memandang umur kehamilan, atau bilamana
mengharuskan maka dapat diberikan dalam bentuk kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin setelah umur kehamilan di atas 16 minggu.
Pada bayi yang
menderita toksoplasma bawaan baik bergejala atau tidak, sebaiknya diberikan
pengobatan untuk menghindari kelainan lanjutan. Obat-obatan yang digunakan
adalah:
Pirimetamin 2
mg/kg selama dua hari, kemudian 1 mg/kg/hari selama 2-6 bulan, dikikuti dengan
1 mg/kg/hari 3 kali seminggu, ditambah
Sulfadiazin
atau trisulfa 100 mg/kg/hari yang terbagi dalam dua dosis, ditambah lagi
Asam folinat 5
mg/dua hari, atau dengan pengobatan kombinasi:
Spiramisin
dosis 100 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, selang-seling setiap bulan dengan
pirimetamin,
Prednison 1
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis sampai ada perbaikan korioreti-nitis. Perlu
dilakukan pemeriksaan serologis ulangan untuk menentukan apakah pengobatan
masih perlu diteruskan.
Sebagai strategi
baru untuk menanggulangi masalah infeksi toksoplasma yang bersifat persisten
ini, digunakan kombinasi imunoterapi dan pengobatan zat antimikroba. Cacat
imunologi seluler diobati dengan imunomodulator (Isoprinosine atau levamisol),
sedangkan infeksinya dikendalikan dengan pemberian spiramisin. Kombinasi
pengobatan ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan bagi pende-rita dengan
meningkatkan reaksi imunologik selulernya dan sekaligus mengendali-kan infeksi
toksoplasmanya.






0 komentar:
Posting Komentar