NEGERI YATIM
: Wiji
Thukul Wijaya
Puisi Acep
Syahril
Di rumahmu
yang sumpek itu tanpa basa basi
kita saling
mentertawakan diri sendiri
kau tertawa
melihat telapak kakiku yang lebar
aku juga
tertawa melihat mata dan gigimu
yang maju
nanar leak karib yang mempertemukan
kita cuma
tertawa lalu kau perkenalkan sipon
istrimu
padaku aku serius menyambut
kau terus
mengawasi hatiku yang menggoda
setelah itu
kita mulai cerita dan tak banyak
bicara soal
sastra tapi sedikit menyinggung
tentang
negara kau bilang hidup di indonesia
seperti
bukan hidup di negara kita lalu
ku bilang
kalau saat ini kita hidup
di negeri
yatim yang sudah lama di tinggal
mati bapak
sedang ibu pergi menjadi angin
kau cuma
mengangguk-angguk tapi dari dialekmu
yang gagap
dan cadel itu kau seolah memeram
amarah kau
bilang ibu kita yang angin itu
telah di
kawin paksa lelaki kejam dan tiran
dia sering
kali mengirim tentara polisi
dan
mata-matanya untuk menghabisimu
serta
teman-teman kita
mereka tidak
lebih jantan dariku katamu
mereka
seperti sudah kehabisan akal bahkan
tak punya
waktu berpikir untuk mengatasi
persoalan
bangsanya selain menggunakan fisik
kekuasaan
dan senjata menculik atau kalau
bisa
membantainya mereka sungguh tak punya malu
sayang ibu
kita cuma angin katamu
sejenak kita
terdiam tapi aku membaca siratan
kecewa di
gelisahmu tentang pilih kasih
orang tua
kita yang lebih berpihak pada
penghianat
maling dan pecundang itu
karena
mereka adalah asset hidup yang bisa
dijadikan
pemuas nafsu para penegak hukum
dan aku juga
bercerita banyak soal
saudara-saudara
kita yang dikejar-kejar
polisi
karena mencuri ayam atau jemuran
tetangganya
lalu kaki atau paha mereka
dibolongi
timah panas kalau tidak digebugi
sampai
sekarat dengan interogasi gaya kompeni
di luar
matahari tegak berdiri di dalam kau
tengkurap di
atas amben bambu menghadap
kali aku
duduk di sofa bodol kempes yang
kondisinya
seperti saudara-saudara kita
yang kurang
gizi sembari cerita kalau kemarin
aku baru
saja berkelahi dengan polsuska
distasiun
balapan solo seusai baca Puisi di
gerbong
eksekutif karena mereka kira aku sedang
demonstrasi
atau sedang menghasut orang
untuk
menentang kejahatan penguasa di negeri ini
setelah
sempat pukul-pukulan aku lari karena
aku tau ibu
kita cuma angin sedangkan mereka
tak punya
hati lalu kau tertawa dengan mata
terbenam dan
mengingatkan agar aku jangan lagi
ngamen Puisi
di depan polisi
tak terasa
di luar matahari makin miring
ke kiri
sementara kita masih ingin menuntaskan rindu
untuk bicara
apa saja tentang negara dan
berencana
mencari kuburan bapak yang entah dimana
serta
menunggu belaian ibu yang hanya
terasa
kelembutannya
ah kita
benar-benar yatim katamu
dan sebelum
matahari benar-benar pergi aku
pamit dengan
harapan kita bisa bertemu dan saling
mentertawakan
diri lagi membacakan Puisi
dengan
leluasa di hadapan ibu
tapi
kuperhatikan kau tercenung lama seperti ada
sisa kecewa
yang belum juga bisa kau terima
atas siksa
yang pernah kau rasa dari kepal tinju
para
penindas dan hantaman popor senjata
kaki tangan
penguasa lalu dengan arif kujagakan
kediamanmu
serta meyakinkan kalau suatu saat
ibu kita
yang angin itu akan memuntahkan
kembali
segala bentuk kecurigaan dan tuduhan
serta pidato
pediti politik atau ceramah cerimih
mereka lalu
kata-katanya berubah jadi hewan buas
menakutkan
yang akan mencabik-cabik
mulut mereka
dan senantiasa mengusik setiap
upacara pagi
apel bendera






0 komentar:
Posting Komentar