Ekselensi sebagai pembelajar
Ekselensi Pembelajar
Mengajak orang lain berubah sangatlah berbeda dengan
mengajak diri sendiri berubah. Mengubah diri adalah pelajaran paling berat yang
harus dihadapi guru masa kini. Mungkin lebih mudah mengubah siswa yang
kemampuannya pas-pasan menjadi lebih cerdas dan kompeten, mengubah mereka yang
malas belajar menjadi lebih giat. Untuk mengubah orang lain, cukuplah kalau
kita memiliki daya persuasif yang membuat orang lain percaya dan berubah.
Sebaliknya, mengubah diri membutuhkan keberanian, jiwa besar, dan kesabaran.
Kadang kala butuh pengorbanan, ketekunan, dan latihan-latihan yang seringkali
tidak mudah. Mungkin para guru bisa meyakinkan orang lain dan karena itu bisa
membuat banyak orang berubah. Namun, apakah ia juga bisa meyakinkan diri
sendiri sehingga ia sendiri pun bisa berubah?
nformasi, teknologi, dan kecanggihan peralatan elektronik
menuntut guru agar belajar banyak hal. Pesatnya kemajuan seolah melemparkan
guru pada belantara ilmu baru yang benar-benar asing dan membingungkan. Jika di
rumah Anda ada remote control, coba perhatikan ada berapa jumlah tombol di
sana? Tiap tombol itu memiliki fungsi sendiri. Untuk mengoperasikan
tombol-tombol itu butuh latihan. Kita perlu mempelajari remote itu kalau tidak ingin
dikatakan kita ini gagap teknologi. Ini baru masalah remote control. Komputer,
apalagi. Ada berapa tuts dalam keyboard? Melihatnya saja para guru bisa
langsung pusing. Ia tidak tahu lagi dari mana mesti memulai.
Belajar memang sebuah wujud gerak keluar, sebab kita
memberi perhatian pada apa yang di luar diri kita. Hidup di masa di mana orang
lebih suka mementingkan diri sendiri, keluar dari diri sendiri merupakan sebuah
perjuangan yang tidak ringan. Kita merasa seperti ada yang hilang. Itulah yang terjadi
pada saat kita memulai sesuatu yang baru. Padahal, memecahkan halangan ini akan
membuat kita pelan-pelan mulai bergerak maju. Gerak maju menjadi sebuah
keengganan sebab kegamangan senantiasa menghadang. Apalagi jika yang di depan
itu belum dapat kita lihat dan yakini efektivitasnya. Daripada melakukan
sesuatu yan tidak jelas, bukankah lebih baik berpegang pada apa yang ada
dahulu? Inilah akar persoalan konservatisme yang sering dialami guru. Akhirnya
guru terjebak pada dua sindrom, yaitu konservatisme dan presentisme. Guru
merasa lebih baik ikut arus dalam sindrom kekinian saja sebab ia menemukan
ketenangan dan rasa aman meski sesungguhnya pelan-pelan ia mengingkari
hakikatnya sebagai guru, yaitu, seorang yang senantiasa belajar dan mau maju.
Selain itu, sebagai pembelajar yang ekselen, guru
semestinya memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan kemampuan akademis
siswa. Perkembangan intelektual siswa menjadi orientasi bagi pengembangan diri.
Melakukan pembaruan diri terus-menerus agar semakin
efektif mengajar dan menemukan cara-cara baru mengajar, berani merefleksikan
dan mengevaluasi terus-menerus cara guru mengorganisir kelas, dan membangun
tatanan baru dalam kelas yang mendukung proses pembelajaran merupakan tanda
kehadiran guru sebagai pembelajar. Sikap dasar untuk senantiasa menjadi
pembelajar yang ekselen adalah selaras dengan salah satu tujuan pendidikan,
yaitu peningkatan kemampuan akademis siswa. Oleh karena itu, guru sebagai
pendidik karakter tidak bisa mengukuhkan identitas dirinya jika cara dia
mengajar, cara dia berelasi dengan siswa tidak menumbuhkan ekselensi belajar
dalam diri siswa. Pengembangan kepribadian tidak dapat menjadi alasan untuk
menurunkan kualitas mutu akademis. Antara pengembangan akademis dan
pengembangan kepribadian siswa sesungguhnya dua hal yang sama-sama mesti
diselaraskan. Yang satu tidak bisa mematikan yang lain.
Sering terdengar keluhan dari para guru bahwa materi
pembelajaran sudah terlalu padat sehingga guru tidak dapat memberikan perhatian
pada perkembangan afeksi dan kehidupan moral para siswa. Atau sebaliknya, ada
ungkapan yang mengatakan, bahwa “sekolah kami mengutamakan pembentukan
karakter, bukan sekadar mencetak anak pintar”. Ujaran ini, di satu sisi memang
tepat jika dipahami secara utuh. Ungkapan “bukan sekadar” tidak berarti bahwa
sekolah bisa mengabaikan dimensi perkembangan akademis. Interpretasi ini layak
diwaspadai karena ada sekolah yang mencoba memberikan perhatian lebih pada
pengembangan dimensi humaniora siswa, namun ternyata tidak disertai keinginan
untuk meningkatkan kemampuan akademis siswa. Atau malahan, pengembangan
non-akademis menjadi alasan untuk bersembunyi di balik keteledoran guru dan
sekolah dalam mengembangkan kemampuan akademis.
Guru sebagai pendidik karakter tetap memiliki tanggung jawab
utama dalam mengembangkan diri siswa menjadi pembelajar yang utama. Untuk itu,
guru mesti juga menunjukkan bahwa dirinya adalah pembelajar ekselen yang
senantiasa ingin bertumbuh dan berkembang dalam proses pengajaran dan
pembelajaran melalui mata pelajaran yang mereka ampu. Tanpa adanya ekselensi
diri sebagai pembelajar, sulit bagi guru mengembangkan identitas dirinya
sebagai pendidik karakter sebab keberhasilan pendidikan karakter memiliki
korelasi erat dengan meningkatnya prestasi akademis siswa.
Pustaka Artikel Ekselensi diri sebagai pembelajar
Pendidik Karakter Oleh Doni Koesoema A.






0 komentar:
Posting Komentar